Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2015

Kisah Naar

Terlahir dari rahim neraka, bertakdir mencambuk pendosa. Menunggu dengan tenang di puncak olympus. Meliuk menanti pendakinya, prometheus. Dia merengkuh pelukannya. Dia turun ke bumi menjajaki kebaruan. Sayang sang kekasih terhukum sang ayah. Dia tidak menyesal diringkuh dan dicumbu. Dia tidak menyesal tinggalkan singgasananya di tahta. Dia tak menyesal tak kobarkan diri selamatkan pemangsaan pelahap terkasih, mencabik daging seumpama apel yang terkupas pisau lalu dikulun mulut berbisa. Penyesalannya bara dan liukannya teruntuk manusia, para maruk kuasa. Para pandir yang beranak pinak. Kini menjagal Gaia - kakek buyutnya. Merampas kemuliaan hijau dan keelokan birunya. Semua memerah dan prometheus hanya tertawa di pusara tak bernisan atau euforia ukiran pemanusiaannya. posted from Bloggeroid

Ujian

Gambar
Ujian terakhir selalu memberi tantangan, apakah diri kita telah siap atau belum, ataukah mungkin hanya penggembira yang menghabiskan waktu untuk bertarung Ujian akhir, selalu memberi pertanyaan. Akan jadi apa kita setelah hari ini ? Jalan apa yang kelak kita tempuh ? Ataukah ujian hanya bunuh diri ? memandu pada kesia-siaan ? Pekan ini adalah ujian saya, gigi di atas adalah soalnya. Kadang saya merasa terlalu takut untuk ngotot, saya takut mengorbankan nilai, atau itu hanya sekedar apologia ? Semakin hari dekadensi semakin merasuk dalam udara yang kuhirup. Semoga jalan cerah akan masa depan atau kelak membawa pada gerbang baru yang memanggil. posted from Bloggeroid

TUHAN, BPJS DAN HAL – HAL YANG TAK SELESAI

Banyak cara untuk melakukan perdebatan di Indonesia. Salah satunya simpel saja : membenturkannya dengan hal yang berbau agama – khususnya ketika dikorelasikan dengan agama Islam. Itulah yang kemudian Goenawan Mohammad bahas dalam kumpulan prosanya, “Tuhan dan Hal – Hal yang Tak Selesai”.  GM – sapaan Goenawan Mohammad – menjelaskan banyak hal secara tersirat dalam karyanya, bahwa Tuhan dan agama menjadi hal yang terlalu sulit untuk dienkripsi. Bahkan sekiranya perdebatan itu tak kunjung menemukan titik temu atau mengambang. Alur yang lebih mengerikan yaitu : terjadinya konflik yang lebih besar. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sepertinya sangat tahu dan  mengerti akan hal ini. Bisa dibilang MUI sering melahirkan polemik di negeri ini. Keputusan lembaga ini acap kali berkontroversi - sebagian menganggap subversif – bagi banyak orang. Semuanya lewat label cap “haram-halal” yang mereka terbitkan. Setelah vaksin,; kini polemik di bidang kesehatan terjadi di BPJS. Secara garis bes

26

26, Einstein relativitas nan relatif mahsyur dan berarti 26, Newton rayakan cahaya dalam optik terbuku 26, Stanley kubrick lahirkan epik dalam lima karya 26, Goenawan Mohammad menapak di DKJ 26, Bill Gates bertarung di akar kelak pundi miliar Aku, 26, masih terdampar di institusi, hampir menggila 26, masih seonggok tai, belum berguna mungkin kelak 27, 28, 29, semoga... posted from Bloggeroid

Aroma itu....

Kala dapat tugas periksa, Rekan - rekan jauh tanah kita Mataku hijau, memanggil seorang masuk Menjadi merah merusak nuansa Dia bercerita, terpaksa mendengar Dia tertawa, apa daya jua Harmoni boleh terisak Topeng Guy Fawkes  harus tersedia Mulut diperiksa dan dibuka Seruak memaksa menembus syaraf Hidung menutup, takut menyinggung Bukan gigi dan mulut berasal dia Juga saliva berkarang Diapit oleh lengan nyatanya Aroma mengundang hawa pancing seteru iblis-malaikat bukan di neraka ,surga menolak pula Terlebih aku yang manusia Kulantun aneka varian nubuat - "Tuhan, berikan setitik sabar,   Isilah kantong hamba-Mu  dengan nikmat" posted from Bloggeroid

Pagari Sindi

Hampir tutup teralis klinik Datang melompat Si Sindi Cantik, putih, siswi Berlipstik, bermobil, berok mini Pinta dirawat gigi geligi Diperiksa Sindi dengan teliti Kata dokter sudah baik nan rapi Merengek dia ingin dipagari Ingin urak seperti Japanese yang sweety Apalagi sudah pedi dan medi Sindi... Sindi... Sindi... Medsos dan selfie jadi konsumsi Opa Baudillard kata Hiperealis Kata Sindi itu estetis Dalam hati dokter ujar "miris" posted from Bloggeroid

Melihat Film Persepolis : Marji dan Identitasnya

Gambar
Di satu sudut kota Paris, di sebuah café persimpangan Rue Lepic dengan Eifel di kejauhan. Di hamparan sebuah meja bulat untuk dua orang, terduduklah seorang wanita paruh baya dengan tahi lalat di tengah hidung dan rambut panjang ikal terurainya. Seorang perempuan arab dengan rokok yang diisapnya, diikuti dengan seruput lambat dari tepi cangkir espresso di mejanya. Teringatnya di Teheran pasca turunnya Sheh Reza Pahlevi. Saat dia masih seorang anak yang  mendengarkan dendangan sang paman yang “kiri”, tentang utopia kelas sosial, revolusi proletariat disertai mimpi utopia – utopia Marxis lainnya. Saat saksi perubahan tatanan dalam bingkai Revolusi Islam di Iran. Anak yang terombang – ambingkan dalam latah Oedipus (sebut saja kecenderungan ikut akan orang tua). Dialah Marji, seorang anak dari borjuis menengah yang diberkahi kekritisan sedari kecilnya (mungkin juga karena faktor keluarga mereka yang merupakan kelas menengah). Tak ada yang menyangka Revolusi Islam akan men