Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2016

Kembali ke Asal

Beberapa hari ini Makassar terkena pemadaman bergilir dan koneksi internet untuk semua provider yang bermasalah. Dari pagi sampai siang namun bisa juga siang sampai sore siang sampai malam, bahkan pernah di suatu daerah listrik dan internet tak dapat terakses selama sehari. Bisakah anda bayangkan bagaimana sebuah kota yang bernutrisi selayak berkehidupan dari listrik dan internet mendadak hilang, para urban yang hidup di antara gadget dan perangkat internet dan listrik yang merasa sakit kepala jika seharian tidak mengupdate path atau mengupload kegiatan mereka di Instagram. Atau kehidupan tanpa terang lampu dan perangkat elektronik semisal mesin cuci ataupun televisi. Ini yang saya rasakan di rumah saya kemarin, biasanya rumah senantiasa dipenuhi grasak-grusuk perangkat elektrik dan alat memasak berdaya listrik. Sering juga terdengar suara updetan media sosial yang berdering atau ajakan bercakap kawan di smartphone. Kini semua padam, hanya ada gelap dan senyap. Merasa purba dan tia

Malam yang Berbeda

Gambar
Malam kemarin saya melihat betapa kembang api menembus atmosfir, klakson mobil dan motor yang ingin menerobos kerumunan pejalan, gemuruh sound system dan pentatonik dangdut elekton, hingga lautan manusia di pusat kota. Kota kecil seumpama sarang semut yang bekerja menyambut kelahiran sang Ratu. Tanpa mengenal waktu berkerumun - sekalipun tidak setertib semut - dan menikmati malam. Tepat jam 12 langit terpecah dalam fragmen cahaya yang menyilaukan. Besok malamnya tiada lagi suara terdengar, tiada lagi lautan manusia, tiada lagi asap kuliner, tiada lagi klakson dan knalpot bogar yang berbunyi. Malam kemarin sungguh tenang, seumpama malam kelahiran Al-Masih. Mungkin mereka tidak sedang berdoa, ataupun melantunkan sabda - sabda Tuhan yang paling kudus, ah apalagi meluangkan waktu untuk membaca puisi para penyair. Mereka mungkin terlalu lelah beresolusi dengan semarak pada malam sebelumnya, terlalu capek dengan pelbagai distorsi masyarakat urban yang mencapai klimaksnya. Kini mereka

Tanpa nama

Dia berusaha melupakan malam itu. Saat kerlip kembang api berhamburan. Para manusia beriuh-pikuk. Elektone dan dangdutan berkhotbah di berbagai penjuru kota. Aroma pembakaran kuliner bersatu dengan asap mercon. Semua terhanyut dalam hitungan detik per detik pergantian tahun. Semua berdiri dalam nostalgi dan resolusi. Jalanan kota dipadati manusia penyuka keriuhan dan kemacetan. Dengan tergesa dia memasuki lorong di daerah keramaian kota dengan langkah tergesa, tak sempat dia menikmati malam itu, gemerlap letusan kembang api seakan tidak mempengaruhi tatapannya yang lurus searah langkah cepatnya. Dia menuju rumahnya yang terletak di tengah sebuah labirin lorong kota ini. "Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan/Engkau telah menjadi racun bagi darahku." Puisi dari Rendra itu berepetisi. Kata-katanya meracuni pikirannya dan menuntun jalannya di dalam lorong sempit yang berjejer rumah dengan sampah yang menggenangi gotnya. Rumah kayu dan rumah batu saling berhimpit t