Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2016

Suara Hingga Terang

Suara itu kuat, mampu menghempas karang dan kepercayaan yang lama dianut oleh manusia. Darinya datang nada dan rasa. Suara, suara, suara, menerobos gelap ketika mata tertutup, menuntun jalan hingga terang menyambut. Dalam suatu tekan dia masuk ke gendang telinga, menyambung ke pusat saraf, endofrin mengalir deras, serasa surga di depan mata. Kini aku percaya dapat hidup, setelah lama aku terkutuk. Suara itu datang pada frekuensi lemah, sayu, tapi ada semangat dan energi di dalamnya. Suara itu menerobos hingga ke dada. Hangat. Melelehkan darah yang sudah beku. Melambatkan denyut, dan saya terhanyut.  Dia menghardik tapi indah, dia kejam tapi berbunga. Suara, suara, suara. Di mana suara itu kini? gelap sudah datang, tuntunan menghilang. Mana, mana getaranmu lagi? Biarkan aku tersesat, tak perlu kau tuntun. Hanya suara adalah bahagia, memberi harapan walau tak nyata dan kasih yang tak berbalas.

Keriting Itu Keren

Gambar
Era SMA dan SMP saya menyimpan memori diskriminasi untuk pemilik rambut keiiting. Ya, era itu di mana rambut belah tengah dibilang keren dan rambut jabrik dengan Gatsby jel itu hukumnya  fardu ain saat ke sekolah. Apa  mi daya saya tumbuh dengan rambut keriting--kadang saya asosiasikan dengan rambut ikal. Rambut jenis ini ketika dibiarkan sedikit saja melebat, akan nampak meliar dan otomatis gunting guru BK akan membabatnya hingga cacat. Dibiarkan pendek pi,  itu jadi pilihan. Hal ini saya alami juga saat masuk fakultas yang mengedepankan estetika pasien dan citra kerapian.  Bisa dibilang beberapa bulan ini daya mendapat kebebasan untuk meliarkan rambut, hal yang jarang saya dapat kesempatannya selain pada saat menunggu pengunguman kelulusan SPMB. Tapi bayang-bayang guru BK dan aturan tidak tertulis institusi profesi seperti membayangi, hal itu ada di beberapa teman saya sesama awardee-- untung saja mereka baik hati.   Ah, saya jengah dengan imbauan dan arahan dari sesama teman-teman a

Gusdurian Menolak Tua

Gambar
"Usia boleh menua tapi tidak dengan semangat!" Kira-kira begitulah kalimat penuh energi yang meluncur dari mulut Aan Anshori, seorang aktivis kemanusiaan cum Koordinator Gusdurian Jawa Timur. Berambut kemerahan dan bercelana pendek dan juga turut hadir seorang feminis (ibukota), Nadya di situ. Di sekeliling kami duduk para lelaki bersarung dan berpeci, di kafe tempat kami kongkow-kongkow, bacaan Surat Al-Kahfi terlantun dan melatari diskusi. Ya, kami berada di salah satu kawasan santri terlawas se-Indonesia, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Ba'da Magrib itu (17/11), Nadya dan Gus Aan (sapaan Aan Anshori) seakan menjadi sentrum serupa magnet yang menyerap partikel logam di sekitarnya. Terlebih ketika berbicara soal seksualitas dan kaum minoritas. Saya? Ya saya cuma menjadi pendengar yang baik mi saja.   Selain berbicara pergulatan dan pengalaman menangani kelompok-kelompok termarjinalkan dan minoritas, Gus Aan juga bercerita mengenai sebuah kartu, yang menjadikannya menyala

Sesudah Empat November, Apa Lagi?

Gambar
Bisa dibilang saya cukup lelah melihat informasi yang berseliweran di media sosial saya seputaran hal ini. Ahok, Al-Maidah, hingga tetek bengeknya.  Puncak keriuhan itu terjadi pada hari ini. (4/11) Seperti yang mungkin anda semua lihat di media, bagaimana lautan manusia terjadi di ibukota, mengatasnamakan agama yang saya juga anut--sayangnya saya memilih tidak reaktif dalam hal ini. Demonstrasi telah bubar, massa telah pulang ke asal mereka, jalanan telah lenggang, lantas apa lagi? Pertanyaan itu yang sering saya tanyakan pada teman-teman kuliah yang mengklaim diri mereka aktivis. Sebagai orang yang dibesarkan di daerah dan kampus 'merah membara' juga sempat juga merasakan beberapa momentum 'membara' sudah saya rasakan. Demo menjadi prioritas utama bagi teman-teman tersebut, beberapa teman bahkan mengabdikan hidupnya di jalan dan api pembakaran ban bekas. Dan salah satu perkara yang kadang tidak dapat terjelaskan adalah, "Apa yang kalian lakukan setelah demonstras

Malu dan Kematian Petta

Gambar
Dimuat di Go Cakrawala 24 September 2016 Dor! Selongsong peluru melesat ke kepala Petta [1] . Ia tergeletak dengan lubang di pelipis yang menyemburkan darah. Badik itu terlepas dari genggamannya. Aku kaget, Indo’ meraung-raung histeris. Ia menggoyang-goyangkannya, memanggil-manggil, lalu mendekap tubunya. Isak tangis Indo’memenuhi kamar 301 ini. “Petta... Petta..” Kata itu berulang kali kuucap bersama tangis yang tak terbendung, Nyatanya penyesalanmemang selalu terlambat. Aku menyesal atas kebodohanku, menyesal bukan diriku saja yang terkapar mati. Sorotan mata penuh amarah kulayangkan pada Emir. Di belakangnya kulihat Mela berteriak histeris. Spontan kuambil badik Petta. Aku melompat dan ingin menghunus ke dadanya. Emir panik, segera saja kurapatkan dirinya ke tembok. Namun pistol itu lebih dulu beraksi *** Sehabis menamatkan kuliah, Petta tidak lelah-lelahnya menginginkan aku cepat menikah. Padahal saat itu aku sedang menapaki panggung politik nasional saat diterima s

Pesan Singkat Para Politisi Kampus

Gambar
Dimuat di Harian Go Cakrawala, 29 Oktober 2016 “Pokoknya permasalahan ini harus diselesaikan”, ujar Anwar. Melani cukup senang dengan optimisme dari ucapan Anwar tadi. Sebagai pacar dari Anwar, ia merasa prihatin akan apa yang menerpa kepengurusannya kali ini. Ia senang kini kesayangannya bisa tersenyum. Setelah beberapa kali ditekan oleh para birokrat kampus. Bahkan rektor sempat dilihatnya memarahi Anwar dan mengultimatum untuk segera menyelesaikan permasalahan konflik kemahasiswaan di Universitas Mawar, universitas kebanggaan masyarakat . Pertikaian antar kelompok mahasiswa sering terjadi. Mereka saling nyinyir, fitnah terjadi di koran kampus, selebaran, majalah dinding, hingga di tawuran–kelahi di pelataran dan kelas perkuliahan. Fasilitas kampus rusak, perkuliahan terbengkalai. Salah satu yang paling parah adalah saat kelompok besar mahasiswa Kampus Mawar dengan segala atributnya (kelompok Sorban, kelompok Gaul, kelompok Kepalan Tangan, dan kelompok Tangga)

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Gambar
Judul: Mendengarkan Coldplay Penulis: Mario F. Lawi Penerbit: PT Grasindo ISBN: 978-602-375-629-2 Membuat puisi dan lagu adalah sesuatu hal yang berbeda namun serupa. Keduanya memiliki cara apresiasinya masing-masing. Penggabungan kedua hal tersebut, yang paling umumnya adalah musikalisasi puisi. Hal ini lawasnya dilakukan oleh Arie & Reda yang menjadikan puisi dalam bentuk folk pop. untuk skala Makassar sendiri ada namanya Ruang Baca yang kerap kali melagukan puisi-puisi Ibe S. Palogai atau Aan Mansyur. Lantas bagaimana kalau sebaliknya? Ya, Mario F. Lawi mencoba hal tersebut dalam buku kumpulan puisinya, Mendengarkan Coldplay. Dalam puisi-puisinya, Mario mencoba menafsirkan ulang beberapa lagu-lagu Coldplay dan kemudian menuangkannya dalam bentuk sajak. Sebut saja dari "Yellow" , " Speed of Sound", "Every Teardrop is Waterfall", "Fix You", "Clocks", hingga keseluruhan lagu dalam album Ghost Stories (2014) dan Viva La Vi