Melihat Film Persepolis : Marji dan Identitasnya



Di satu sudut kota Paris, di sebuah café persimpangan Rue Lepic dengan Eifel di kejauhan. Di hamparan sebuah meja bulat untuk dua orang, terduduklah seorang wanita paruh baya dengan tahi lalat di tengah hidung dan rambut panjang ikal terurainya. Seorang perempuan arab dengan rokok yang diisapnya, diikuti dengan seruput lambat dari tepi cangkir espresso di mejanya. Teringatnya di Teheran pasca turunnya Sheh Reza Pahlevi. Saat dia masih seorang anak yang  mendengarkan dendangan sang paman yang “kiri”, tentang utopia kelas sosial, revolusi proletariat disertai mimpi utopia – utopia Marxis lainnya. Saat saksi perubahan tatanan dalam bingkai Revolusi Islam di Iran.


Anak yang terombang – ambingkan dalam latah Oedipus (sebut saja kecenderungan ikut akan orang tua). Dialah Marji, seorang anak dari borjuis menengah yang diberkahi kekritisan sedari kecilnya (mungkin juga karena faktor keluarga mereka yang merupakan kelas menengah).
Tak ada yang menyangka Revolusi Islam akan menjadi manis dan getir baginya. Paman yang senantiasa mendendangkan mimpi tersebut, tetangga bermainnya, sampai neneknya. Setelah rokok pertamanya habis, diingatlah bagaimana pesan ayahnya di depan pintu pemberangkatan yang terjaga ketat

Never forget who you are and where you're from

Sambil tersenyum kecil ia mencibir dirinya. Dia adalah seseorang yang bahkan tidak tahu dirinya. Dia adalah perempuan tanpa identitas. Dia adalah penggemar punk di tengah negri yang anti-barat, dia adalah perempuan yang benci akan doktrin yang diajar di sekolah, Dia adalah perempuan dengan ide liberal, sosialis hingga yang pasca strukturalis yang dianggap subversif oleh  guru. Dia adalah pejuang untuk kesetaraan, sekalipun pakar feminis Scoot Joan berkata “Kesetaraan bukan penghapusan perbedaan, dan perbedaan tidak menghapus kesetaraan”. Beberapa tahun kemudian diingatnya perpisahan dengan ayahnya itu mempertemukannya dengan Barat yang dulu disanjungnya. Hingga tak aral menyisakan duka akan cinta dan cita – citanya. Ah… perubahan memang selalu menyisakan tragedi besar, yaitu krisis Identitas. Itulah coraknya, di tengah pertemuandan pertarungan konstruksi perempuan Barat dan Timur, Islam Fundamentalis yang subordinatif dan Westernis yang liberal. Dia sadar dia lupa, dia sadar dirinya adalah korban perubahan. Yang dimana selalu menyisakan perempuan yang menderita layaknya Nawal El Saadawi yang radikal.

Bermil – mil jauhnya dari kota Prancis, di negeri dengan Ideologi Bhineka Tunggal Ika yang sedikit lebih inklusif dari negeri para Mullah, terdapat banyak perempuan yang tengah mengalami hal serupa, tempat dimana perempuan yang kelak mengalami krisis identitas. Para perempuan yang terjebak dalam realitas serupa ditemukan Marji. Perempuan dengan pacar dan suami layaknya Petruchio dalam lakon Tarming of the Shrew, yang tergambar:


Aku akan menjadi tuan dari apa yang kini aku miliki
Dia adalah harta bendaku, binatang piaraanku; doa adalah kudaku
Perabot Rumah tanggaku, ladangku peternakanku,
Kudaku, sapi jantanku, pantatku, apapun,
Dan di sinilah dia berdiri. Jamahlah dia siapa pun yang berani,
Aku akan bertindak sebagai seorang laki – laki terbangga
Yang akan menghentikan lajauku di Padua

Di negeri dengan  banyak “Marji – Marji yang lain”. Perempuan di negeri itu terjebak akan Arab dan agama. Di tengah maraknya banal setengah - setengah pedangdut sexy dan bintang korea yang memberhalakan produk kecantikan dan gadget. Melupakan  La Galigo lalu memilih Ganteng – ganteng Serigala. Seakan suci dengan ayat – ayat tanpa ingin tahu isi. Tinggalah perempuan “peragu” yang berjilbab “pop” dengan bajunya ketat dengan kekosongan di otak. Dengan kisah “esek – esek” artis perempuan dan tokoh agama. Perempuan yang memaksa memutihkan diri dan yang putih dan langsing jadi bintangnya. Perempuan yang memilih menjadi ma’lebi nan pasif ataupun yang terjerumus dalam hedonis. Di satu suduntya menempa perempuannya dengan jam malam dan larangan berboncengan atau duduk mengangkang sedang di satu sudut negrinya berdiri perempuan yang siap menjual tubuh, disiksa, dan dinesatapkan oleh “Tuan di Negeri Seberang” demi sesuap nasi untuk anak dan ibu. Itulah gerbang luar negri paradoks itu.



Padahal patutnya mereka bersyukur budaya mereka meninggikan perempuan. Di mana Tomanurung dikisahkan tidak saja hanya seorang lelaki bernama Batara Guru, tapi juga disandingkan dengan personifikasi perempuan jelita bernama We Nyilik Timo, dengan perannya melahirkan gagasan-gagasan besar tentang fondasi bangunan kebudayaan. Cut Nyak Dien yang menggetarkan ujung bedil Belanda. Bisa juga Colliq Pujié. Beliau adalah seorang perempuan bangsawan Bugis yang hidup pada abad ke-19. Beliau bukan hanya bangsawan, tetapi juga pengarang dan penulis, sastrawan (ikut andil dalam menyusun naskah La Galigo), negarawan, politikus yang pernah menjalani tahanan politik selama 10 tahun di Makassar berprinsip“ininnawakku muwita. Mau natuddu’ solo’. Mola linrung muwa” (Lihatlah keadaan batinku, walaupun dihempas arus deras, namun tetap tegar). Terpikir lagi, seandainya saja Marji tinggal di negeri itu. Negeri yang belum tergerus oleh sisi pahit gelombang perubahan tatanan. Masih memiliki orang yang menjaga budaya dalam konteks agama Islam sekalipun di titik nadir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)