Pesan Singkat Para Politisi Kampus


Dimuat di Harian Go Cakrawala, 29 Oktober 2016

“Pokoknya permasalahan ini harus diselesaikan”, ujar Anwar.

Melani cukup senang dengan optimisme dari ucapan Anwar tadi. Sebagai pacar dari Anwar, ia merasa prihatin akan apa yang menerpa kepengurusannya kali ini. Ia senang kini kesayangannya bisa tersenyum. Setelah beberapa kali ditekan oleh para birokrat kampus. Bahkan rektor sempat dilihatnya memarahi Anwar dan mengultimatum untuk segera menyelesaikan permasalahan konflik kemahasiswaan di Universitas Mawar, universitas kebanggaan masyarakat.

Pertikaian antar kelompok mahasiswa sering terjadi. Mereka saling nyinyir, fitnah terjadi di koran kampus, selebaran, majalah dinding, hingga di tawuran–kelahi di pelataran dan kelas perkuliahan. Fasilitas kampus rusak, perkuliahan terbengkalai.

Salah satu yang paling parah adalah saat kelompok besar mahasiswa Kampus Mawar dengan segala atributnya (kelompok Sorban, kelompok Gaul, kelompok Kepalan Tangan, dan kelompok Tangga), dengan seluruh massanya bertemu di pelataran kampus, membawa parang dan batu, awalnya cuma saling teriak dan memaki, namun pertikaian tak dapat dilerai. Batu dan molotov melayang dan kejar-kejaran terjadi. Perpustakaan, laboratorium, dan ruang kelas yang berada dekat dari pelataran menjadi korban. Kaca–kaca pecah, kursi dan meja berhamburan juga diterkam api.

Mereka saling berburu, beberapa di antaranya terkena tebasan benda tajam, beberapa juga menahan darah mengucur dari ubun–ubun,  akibat terkena lemparan batu. Bahkan petinggi bagian kemahasiswaan, juga terkena lemparan batu. Satpam kalang kabut saat diburu oleh amuk yang kian mengganas. Kampus Mawar saat itu seumpama medan perang. Hingga akhirnya polisi datang dengan peluru karet serta gas air mata membubarkan dan mengamankan massa.

Kejadian itu menyebabkan universitas disorot, mungkin itulah yang menyebabkan Anwar diserang habis-habisan oleh birokrat. Anwar–nyatanya seorang presiden karbitantidak  terbiasa dengan konflik terlebih menyempatkan waktu untuk berdemonstrasi atau berdiskusi, satu–satunya kelebihannya: keponakan rektor. Pemilihannya yang beberapa bulan lalu  bahkan lewat proses penunjukkan langsung via telepon.

Beda halnya dengan Melani, seorang mahasiswa burenk yang satu-satunya mendapatkan indeks prestasi sempurna di universitas itu. Melani dipilih oleh Anwar–selain sebagai pacarnya–karena dianggap memiliki kecerdasan dalam manajemen, dari pengarsipan surat  hingga sekedar membangunkan pagi Anwar. Tanpa disangka Melani menjadi menyukai pekerjaannya itu. Apalagi tunjangan tinggi dari rektorat senantiasa mengisi.
Dengan kemurkaan dan desakan rektorat, akhirnya Anwar mengeluarkan sebuah ide untuk mengajak berdiskusi lintas kelompok mengenai hasil analisisnya mengenai pokok permasalahan kampusnya: Mengakomodir tuntutan mahasiswa. Tentunya lewat politik. Bersama Melani, ia merencanakan sebuah diskusi untuk mempertemukan mereka. Dipilihlah sebuah café yang lumayan lux dengan menu makanan dan minuman yang enak. Dengan harapan kepala mereka lebih mencair.

Melani yang senang dengan harapan yang terpancar dari Anwar, penuh semangat mengedarkan undangan kepada para ketua empat kelompok mahasiswa Universitas Mawar. Dengan cepat juga ia memesan tempat untuk diskusi dan konsolidasi di café tersebut.

Tibalah saat diskusi itu. Politik memang selalu menghadirkan banyak orang. Berjibun tamu tak diundang turut hadir. Mereka mengaku sebagai pengawal dari ketua kelompok yang hadir itu. Café menjadi penuh akan kehadiran mereka. Bahkan sepertinya para pengunjung lainnya seakan terusik dan terusir dengan kehadiran mereka. Namun Anwar cukup senang karena ini adalah bukti bahwa ada keseriusan dan perhatian dalam memecahkan permasalahan yang mengenai universitas dan dirinya. Ada sorotan yang hendak meledak di mata mereka, menunggu adanya pemantik untuk berseteru.

Namun ketika pelayan datang semua keliatan berubah, mereka memesan makanan dan minuman yang mungkin belum pernah dirasakannya selama hidup. Mereka memesan dua hingga lima bungkus rokok perorang. Bahkan para  ketua kelompok memesan beberapa bungkus, alasannya buat pasukan mereka di sekretariat. Tanpa disadari café ini telah penuh kepulan asap dari hembusan mereka. Beberapa sibuk melahap penganan seperti tak pernah makan selama beberapa hari. Pelayan sibuk mondar-mandir membawa pesanan.

Di tengah kepulan asap rokok itu, setelah basa-basi dan pembukaan oleh Anwar, berbicaralah Suyuti, ketua kelompok Sorban, yang didahului dengan puja-puji penuh berkah:

Kami ingin menyiarkan syiar Tuhan, kami ini cinta damai, sama seperti yang tertulis dalam wahyu Allah. Kita ini bersaudara, sesama makhluk-Nya

Perkataan itu diikuti seruan memuji Tuhan dari kesemua anggotanya dan keributan saling memaki dengan kelompok lain. Semua orang di sini mengetahui, kelompok ini adalah para penghuni rumah peribadatan “bawah tanah” di seputaran kampus. Mereka terkenal dengan dakwah berlabel pelurusan moral, menolak segala bentuk kegiatan yang tidak sesuai aturan agama–versi mereka.

Dalam waktu bersamaan, Anwar menerima pesan singkat di ponselnya dari Suyuti,
Berikan kami sedekah sebanyak sepuluh juta akhi, untuk perjuangan dakwah di jalan Allah. Kami berjanji tidak akan membuat keributan dengan para kafir itu.

Di samping mejanya ada kelompok Kepalan Tangan. Kelompok ini sering mengklaim diri sebagai revolusioner. Mereka berambut gondrong dan memakai celana robek, menenteng buku Das Kapital Karl Marx atau Madilog Tan Malaka, dan berbicara meledak–ledak, juga penggemar demo bakar ban. Anggota kelompok ini biasa dipanggil Kamerad.

“Ini masalah keadilan kawan-kawan, selama mahasiswa masih dibebani SPP yang berlebih, itu artinya ktia harus revolusi. Hidup Rakyat!! Hidup Mahasiswa!!” ungkap Sjahrir perwakilan Kepalan Tangan. Nyatanya memang anti kapitalis itu sama saja dengan kapitalis, banyak lagi maunya. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Anwar,

Kamerad, tlg lunaskan utang ngopi dan mkn stahun kami di ibu kantin juga surat bebas SPP, seorang sosialis tak pernah melanggar janjinya.

Café mendadak ribut, karena saling tunjuk menunjuk terjadi. Para konsituen Sorban berteriak “Kafir!” dan juga dari Kepalan Tangan meneriaki ke kelompok lainnya “Kapitalis!”. Hampir saja konflik pecah, untung berdirilah seseorang dengan sangat elegan melerai. Ia ketua kelompok Gaul. sebuah kelompok yang diisi para borjuis. Kelompok ini diisi anak mobil-mobil dan pencinta klub malam. Wajar, mereka itu anak pejabat dan pengusaha besar. Menariknya kelompok ini dipimpin oleh seorang perempuan, Elisa.   

“Saudara–saudaraku, kita ini bersaudara kenapa kita harus bertengkar? Apa kalian tidak malu sebagai mahasiswa? Kelompok kami cuma inginkan persatuan kita semua ” ucapnya dengan  mata berkaca– kaca dan suara yang hendak menahan tangis.

Elisa adalah perempuan yang karismatik, cantik, sekaligus seksi. Ia sangat tahu kesedihan seorang perempuan dapat menarik simpatik. Mereka menelan ludah saat melihat tubuh berbalut baju ketat dan paha mulus dibalik rok pendeknya. Para anggota kelompok Sorban berkali-kali mengucapkan maaf kepada Tuhan, sembari membuang muka pada sumber dosa.

Ia berhasil membuat ketenangan para peserta diskusi, namun itu akal-akalan dan spekulasi. Ia dikenal sangat suka pada Anwar dan berambisi menjadi pacarnya sejak lama. Itu terlihat, terutama saat dilihatnya pesan singkat  kiriman Elisa di ponselnya :

Beb Anwar jadianlah dengan sy. sy ini sekretaris yang baik lho. Aku janji beb, diskusi ini akan brjalan lancar, dan tdk ad rusuh lg di kampus.

Anwar menatap Melani tanpa kata. Setelah tepuk tangan panjang, ia duduk. Dalam satu kedipan genit ke arah Anwar, ia seakan memberi kode. Anwar tersenyum malu-malu.  

Selanjutnya berbicaralah Boris, ketua kelompok tangga. Kelompok ini dikenal karena menjadi tangga kampus sebagai tongkrongan, Di situ mereka berjudi hingga minum alkohol secara sembunyi–sembunyi. Mereka adalah kumpulan preman dan pemalak yang anggotanya tiap semester tak pernah luput dari ancaman drop out. Konon beberapa diantaranya memiliki ilmu kebal terhadap senjata tajam dan peluru.

“Kami cuma ingin kebebasan dalam berekspresi, kami ingin demokrasi” ujar Brutus.
Sama hal dengan lainnya, si ketua kelompok tangga juga mengirimkan pesan singkat,
Kami mau sekerak bir dan surat bebas DO Ketua.      

Anwar seakan mengerti akan permasalahan ini dan mengangguk–angguk sambil menuliskan tuntutan itu di atas buku catatannya. Ia kemudian berkata, “Saya pikir ini semua hanya salah paham, semoga dengan ini semua kita bisa belajar agar kampus kita lebih baik.”

Saat itu juga Anwar mengirimkan persetujuan kepada keempat pesan singkat para ketua kelompk tersebut. Oke, tulisnya singkat.

Setelah Anwar menutup diskusi dan konsolidasi itu, seluruh kelompok tersebut saling berpeluk dan bersalaman seakan mengakhiri konflik berdarah bertahun, mereka tertawa dan saling meminta maaf seperti lebaran yang datang lebih cepat dari penanggalannya. Bahkan Anwar menerima kecupan Elisa di pipinya–untungnya Melani tidak melihat. Anwar sangat lega akan hal ini, ia menghela nafas lega sembari memandang  Melani,

“Akhirnya,”

“Plus utang banyak ke café ini” ucap Melani sembari tersenyum, sayangnya itu percakapan yang terkahir Melani bersama Anwar.
-----
Selama sepekan, kedamaian dirasakan di Unviersitas Mawar. Tuntutan mereka telah dikabulkan lewat dana rektorat plus penggadaian motor Anwar. Uang telah diberikan kepada ketua kelompok Sorban, SPP seluruh anggota kelompok Kepalan Tangan dan utang di kantin mereka telah lunas, para anggota kelompok Tangga kesemuanya terbebas dari DO dan setiap harinya teler, hingga Mela dengan status jabatan sekretaris dan pacar seorang presiden kampus. Betapa sakit hatinya Melani. Sudah putus–juga dipecat sebagai sekretaris–oleh Anwar lewat SMS singkatnya:

Kita putus Mela. Sy tidak butuh kamu. Sy sudah punya Elisa.

Nyatanya SMS itu sama halnya dengan nasib Sang Presiden Kampus. Tawuran terjadi lagi, lagi, dan lagi–hanya beberapa pekan damai dilalui. Rektor sudah mencapai titik klimaks kesabarannya. Akhirnya Anwar dipecat–lewat SMS singkat juga–dengan berat hati oleh Rektorat. Juga Elisa yang memutuskan hubungan secara sepihak dengan pesan singkat kala keterpurukannya, Kita putus.  Pelajaran politik untuk Anwar selanjutnya: Jangan percaya politisi.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)