Magis Kata dan Keabadian Rendra (Review buku Stanza dan Blues)

Judul buku: Stanza dan Blues: Kumpulan Puisi Terbaik Rendra
Penerbit: Bentang Pustaka
Jumlah Halaman: 143
ISBN: 978-602-291-220-0



Tak ada yang bisa memungkiri Rendra atau Willybrodus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo sebagai salah satu zeitgeist di dalam kesenian Indonesia. Yang paling utama adalah puisi dan sajak-sajaknya.

Sebut saja sajak "Kangen" atau "Ibunda" yang terkenal itu, pernah beberapa kali saya dengar saat berteater di SMA. Bukunya yang berjudul Empat Kumpulan Sajak menjadi salah satu buku penting saat kuliah dulu.

Nyatanya dalam melihat Rendra, kita mesti memahami fase panjang perjalanan kehidupannya. Fase pertama kepenyairan Rendra didominasi dengan permainan rima juga tema-tema seputaran cinta dan alam. Fase pertama ini terangkum di dalam satu bab buku ini, Malam Stanza. Lihat dan coba rasakan pada salah satu puisinya, "Stanza":

Ada burung dua, jantan dan betina
hinggap di dahan
Ada daun dua, tidak jantan tidak betina
gugur dari dahan
Ada angin dan kapuk gugur, dua-dua sudah tua
pergi ke selatan.
Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu
mengendap dalam nyanyiku.


Puisi-puisi atau sajak-sajak Rendra dalam fase pertama seperti rekaman panca inderanya dalam melihat sesuatu yang dekat dari kehidupannya: ibu, rumah, keluarga, cinta. Mudah sekali menemukan kata-kata quoteable sebagai status di media sosial ataupun untuk dikirimkan via WA atau BBM dengan harapan si penerima akan klepek-klepek dan dengannya akan mengakhiri status jomblo anda.

Lain halnya dengan fase pertama, fase kedua kepenyairan Rendra diisi dengan sajak dan puisi yang banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik saat itu. Kesadaran ini dimulai saat dia selama tiga setengah tahun (1964-1967) tinggal di Amerika. Terlebih masa itu merupakan masa transisi (kelam) Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru. Fase kedua ini terangkum dalam sebuah bab, Blues untuk Bonnie.

Bab tersebut diisi dengan puisi dan sajak panjang Rendra. Isinya cukup panjang, seumpama membaca sebuah cerita atau kejadian, membaca esai, atau bahkan mendengar khotbah. Di sini dia sudah tidak berjumpalitan lagi dengan rima dan lebih menekankan pada satire. (Kecuali pada "Kupanggil Namamu", "Kepada MG", "Nyanyian Duniawi", "Nyanyian Suto untuk Fatima", "Nyanyian Fatima untuk Suto") Lihat saja bagaimana dia menceritakan penderitaan seorang penyanyi blues atau folk negro di kota Boston dalam "Blues untuk Bonnie", potret seorang pelacur yang terkena syphilis pada "Nyanyian Angsa", semangat agitasi nan berapi pada "Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta". Dan salah satu favorit saya yaitu, "Khotbah". Puisi suspense tersebut menceritakan seorang padri muda yang berkhotbah pada jemaat gereja hari Minggu, yang diakhiri dengan kematian padri tersebut mengingatkan pada adegan kematian Jean-Baptiste Grenouille pada film Perfume:  The Story of a Murderer. Konon puisi ini dikagumi oleh sastrawan tersohor Chili, Pablo Neruda.

Selain kumpulan puisi dan sajak terbaik, buku ini dilengkapi dengan profil dan perjalanan hidup WS Rendra oleh Edi Haryono, juga dengan hadirnya pengantar yang ciamik dan sangat personal dari Binhad Nurrohmat, turut membantu dalam mengenal sosok Rendra juga dalam memahami sajak dan puisinya. Sebuah appetizer dan desert yang tepat pada sebuah sajian perjalanan intelektual seorang aktor dan sutradara teater ini.

Buku ini memiliki cover  yang menarik. Cocok untuk dihadiahkan kepada seseorang yang anda anggap spesial. Desainnya mengingatkan pada beberapa relief-relief Aztec atau Inca, menggambarkan bulan mungkin untuk mewakili Malam Stanza dan siluat biru seorang pria yang mewakili Blues untuk Bonnie.

Saya bukanlah seorang penyair, namun menurut saya buku ini cukup penting. Buku yang mengajak kita berpikir dan berenung di tengah terjangan informasi yang straight per-detik dalam layar smartphone anda. Buku ini mengajak kita menyelami pikiran dan kehidupan seorang dedengkot penyihir kata di tengah manusia yang kehilangan kekuatan akan makna dari kata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)