Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2016

Ibu Tua dan Kejam Ibukota

Benar kata orang, Ibukota memang lebih jahat dari ibu tiri. Di sini kekejaman itu mengiris hati di sela-sela kerlip dan kemewahan yang dijajakan. Salah satu yang saya lihat yaitu di sebuah jalan besar tepat di dekat Bundaran HI. Jangan tanyakan apa yang ada di sekitar sini, gedung-gedung tinggi menggapai langit, di bawahnya jejeran SUV atau mobil berkelas lainnya menerabas aspal, berburu cepat dengan motor dan mobil tua yang mesinnya merengek kelelahan. Inilah yang mungkin patung di puncak keagungannya ucapkan "Selamat Datang!" Bisa dibilang saya masih kikuk dengan kota ini, kesasar adalah implikasinya. Seorang ibu tua di trotoar, dengan pakaian lusuh. Badannya kecil dan kurus seakan tidak makan berhari. Saat itu terpikir oleh saya dapat keluar dari sesat liukan nan bercabang jalanan penuh pria berseragam. Entah apa dipikiran saya pada saat itu sehingga saya bertanya pada ibu tersebut arah dan tujuan-padahal sebenarnya masih banyak orang yang bisa ditanyai di situ. Heb

Record Store Day: Antara Kapitalisme dan Penyelamatan Musik

Gambar
Suasana gang lapakan di Record Store Day, Pasar Santa, Jakarta Ojek saya berhenti tepat di depan tangga masuk Pasar Santa. Di beberapa anak tangga duduk orang-orang berpakaian hitam hingga polesan warna psychedelic , dengan berbagai sablonan dari Black Sabbath hingga Arcade Fire. Dari Fariz RM sampai Seringai. Jika dari luar tampakan pasar grosiran terlihat, sangat besa tampaknya saat melaju ke lantai dua. Dengan jelas panggung terlihat di samping saat berada di lantai dua, sisi depan berhadapan dengan sajian kuliner. Sisi lainnya nampak banyak lapak yang paling pusat perhatian perhelatan acara para orang yang kadang disebut "hipster". Inilah acara Record Store Day di Jakarta, yang sempat saya sambangi kemarin (16/4). Salah satu gerai menyajikan cakram padat dan piringan hitam Para urban ini bertarung dengan hasrat mereka untuk memilih "jajanan rock", memilih tumpukan vinyl, kaset, ataupun CD di dalam lapakan yang berjejer. Tumpukan itu membuat kepala

Jendela

Gambar
Pagi adalah saat yang menjemukan bagi seorang pekerja, apalagi buat dokter yang setiap harinya dijejali "hectic days". Saya memilih menatap sebuah jendela klinik tersebut. Bicara tentang jendela, saya selalu ingat kata Aan Mansyur. Menurutnya, manusia memang senang kepalsuan yang ada di balik jendela. Jendela layar handphone pintar, jendela layar televisi, jendela laptop. Jendela baginya adalah cermin kepalsuan dan kebohongan, dunia dalam rekaan simulakra dan simulasi. Tapi bedanya dengan jendela yang satu ini. Jendela ini realitas. Dia bukan simulakra dan simulasi. Di situ saya melihat, pasangan saling melabrak dan marahan. Di situ saya melihat pencuri yang siap dimassa. Di situ saya melihat banjir dan peminta sumbangan membawa map dari pesantren entah berantah. Yang paling membahagiakan, di situ saya melihat senyum ramah pasien setelah menerima perawatan-terkadang juga setelah diberi potongan harga perawatan-di klinik. Inilah jendela, inilah realitas. posted from B