Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)



Makassar, 25 Juli 2012

Pagi ini seperti biasa, namun emosi dan amarah kian membumbung. Di sebuah meja tongkrongan anak koass di sebuah ruangan bertulis "Bagian Bedah Mulut" saya menunggu dia yang selama enam bulan ini memperlakulan saya bak pedulum mengayun tanpa kejelasan titik perhentiannya. Dia memang terkenal seperti itu terhadap anak bimbingannya. Banyak anak koass dan mahasiswa yang melenguh akan kesialannya dan menapaki depresi tingkat akhir ketika diasuh oleh dosen ini.

drg. Nasman Nuralim, Ph.D namanya tertera di sampul buku kepaniteraan saya.

Di depan pandanganku, rekanan sejawat koass telah menyelesaikan ujian bagiannya. Mereka bersorak dan bahagia ketika nilai ditandatangani oleh dosen pembimbingnya. Sedangkan saya hanya bisa menatap iri. Saya bahkan belum menyelesaikan pembacaan refarat--salah satu prasyarat mengikuti ujian--dikarenakan Cak Nas--panggilan saya untuk Dokter Nasman yang tidak jelas apa maunya.

Kliping print-out lembar refarat dan rencana persentasi menyajikan anatomi titik akupuntur di depan saya--judul baca saya berhubungan dengan akupuntur dan bedah mulut. Bahan ini sudah hampir berusia enam bulan. Saya mengerutkan dahi saat melihat paha model ini disensor oleh warna hitam. Ya, Cak Nas di pertemuan sebelumnya menginginkan itu dan saya harus berdebat panjang atas nama moralitas dan agama. Juga disertai pending selama sebulan diskusi saya--asumsinya dia ngambek karena saya sedikit ngotot saat itu. Bukan main kesalnya saya saat itu. Saat itu saya mulai meragukan kapasitasnya sebagai dosen dan lulusan luar negeri.

Lewat beberapa menit, lelaki paruh baya setinggi 165-an cm melewati pintu masuk bagian secara terburu-terburu. Rambutnya dipenuhi warna keperakan disertai kumis tipis Clark Gable. Lelaki itu memperlihatkan pesona sekalipun sudah tidak muda. Itulah Cak Nas yang saya nantikan dari tadi. Tapi siapa peduli terhadap hal itu dalam kondisi emosi yang berkecamuk.

Entah ini pertemuan ke berapa, yang jelas saat itu dosen-dosen lainnya mulai bertanya kepada saya yang sudah melewati ambang wajar belum menyelesaikan ujian di bagian. Saya menyimpan emosi itu dalam-dalam, dan berharap dia memancarkan rasa kasihan. Kuserahkan perbaikan refarat dan membiarkannya melihat-lihat.

"Sudah berapa lama di bagian?" tanyanya

Saya menjawabnya. Bukan empati yang saya dapatkan, justru dia berucap, "Ini mi kalau malas."

Dia berucap seakan kemalasan itu berasal dari saya tanpa menyertakan dirinya sebagai muhasabnya. Emosiku saat itu seperti bom waktu yang siap meletus. Namun sesuatu yang tidak disangka-sangka terjadi,

"Ya sudah, hari ini kamu baca."

Secara terburu-buru saya mempersiapkan segala perlengkapan baca refarat dadakan itu: ruangan, LCD, memanggil teman sejawat sebagai menghadiri baca, sampai memperbanyak copian bahan baca saya. Ada rasa girang sekaligus deg-degan di situ.

Lanjutnya, persentasi saya mulai dan sepertinya dia bergeming melihat persentasi saya. Dia tidak memberi komentar, malah dia membantah dan menanggapi teman-teman yang hadir dan bertanya mengenai persentasi saya.

Di akhir persentasi dia sempat memberikan wejangan, "Dokter itu pelayan masyarakat, dia harus sabar. Di luar sana lebih banyak orang yang lebih menjengkelkan daripada dosen-dosenmu."

Hal tersebut saya ingat sekalipun saat itu saya lebih bahagia karena beban koass saya berkurang.

----

Hari ini seorang perempuan paruh baya datang ke klinik. Dia mengeluhkan giginya sakit dan ingin dicabut. Namun tekanan darah tinggi menyebabkan dia tidak bisa dicabut. Dia marah-marah dan berkata ketus,

"Saya tidak mau lagi dirawat di klinik sini."

Empat tahun telah berlalu dan kini saya bukanlah seorang mahasiswa koass lagi. Kini saya dokter gigi dalam artian sebenarnya. Orang seperti pasien perempuan itu sudah sering saya temui dan saya hanya tersenyum menanggapinya. Setiap orang seperti itu datang dan menghardik, saya selalu teringat kata Cak Nas.

Beberapa menit setelah kejadian itu saya mengecek gawai saya. Dan betapa terkejutnya saya ketika dalam grup alumni FKG UNHAS di Whatsapp saya mengatakan bahwa Cak Nas meninggal.

Dia memang pernah menjengkelkan bagi saya. Namun bukan berarti dia tidak memberi makna pada seorang murid. Dia adalah seorang dosen dari sedikit dosen yang mengajarkan aplikasi dari sabar, sekalipun saya tidak langsung menyadari.

Saya tidak dapat hadir di pusaranya, atau mungkin menaburkan bunga di atas pembaringan terakhirnya. Hanya penyesalan karena berpikir buruk dan prasangka terhadapnya. Semoga maaf saya tersampaikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)