TUHAN, BPJS DAN HAL – HAL YANG TAK SELESAI

Banyak cara untuk melakukan perdebatan di Indonesia. Salah satunya simpel saja : membenturkannya dengan hal yang berbau agama – khususnya ketika dikorelasikan dengan agama Islam. Itulah yang kemudian Goenawan Mohammad bahas dalam kumpulan prosanya, “Tuhan dan Hal – Hal yang Tak Selesai”.

 GM – sapaan Goenawan Mohammad – menjelaskan banyak hal secara tersirat dalam karyanya, bahwa Tuhan dan agama menjadi hal yang terlalu sulit untuk dienkripsi. Bahkan sekiranya perdebatan itu tak kunjung menemukan titik temu atau mengambang. Alur yang lebih mengerikan yaitu : terjadinya konflik yang lebih besar.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sepertinya sangat tahu dan  mengerti akan hal ini. Bisa dibilang MUI sering melahirkan polemik di negeri ini. Keputusan lembaga ini acap kali berkontroversi - sebagian menganggap subversif – bagi banyak orang. Semuanya lewat label cap “haram-halal” yang mereka terbitkan. Setelah vaksin,; kini polemik di bidang kesehatan terjadi di BPJS.

Secara garis besar BPJS yang berjalan hampir dua tahun, merupakan turunan dari kewajiban dasar negara Indonesia yang ingin menciptakan masyarakat adil dan makmur. Turunan dari tuntutan akan jaminan sosial dan kesehatan masyarakat. Jaminan akan terciptanya welfare state – konsep jaminan sosial dan kesejahteraan oleh negara. Bahkan seorang ekonom Francis Fukuyama menyebut welfare state adalah upaya mewujudkan kepercayaan masyarakat kepada negara.

Katanya, negara dan pemerintah yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan warganya – salah satunya adalah kesehatan. Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat signifikan dalam konteks kebijakan sosial. Dengan adanya kepercayaan tersebut masyarakat akan percaya kepada pemerintah, dan akhirnya diikuti dengan partisipasi dan peran aktif warga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai kewajiban yang harus dilakukan pemerintah, BPJS ini bisa dibilang banyak membantu utamanya masyarakat dan para praktisi kesehatan. Di lain sisi mudah saja mendapatkan informasi mengenai masalah – masalah dalam pelaksanaannya. Banyak ditemukan para dokter ataupun pasien yang mengeluhkannya. Dimulai dari pelayanan hingga pelaksanaannya. Wajar, jika sebagai sebuah program yang berkelanjutan, BPJS dievaluasi.
----
Indonesia memang bukan secara blak – blakan mengatakan diri negara Islam, namun tingkah reaktif sebagian besar penganutnya bisa dibilang mengalahkan para orang – orang dari negara Islam.  Itulah mengapa stempel “syariah” selalu menjadi stigma kebaikan, sehingga wajib rasanya orang yang merasa diri beragama harus ikut di dalamnya. Sebut saja mulai dari perda syariah, bank syariah, klinik syariah, bisnis syariah, partai syariah, bahkan jilbab syariah. Mungkin saja kelak akan ada label korupsi syariah atau prostitusi syariah.

Label “syariah” mengklaim diri menyelesaikan problematika umat. Tapi apakah demikian ? Toh sampai hari ini kesemuanya belum bisa memecahkan masalah – masalah itu. Kesemuanya bisa dibilang hanya alternatif dari yang konvensional. Lebih ekstrimnya lagi label “syariah” itu menjadi konsep pemberhalaan baru sebagian orang, seperti yang diutarakan oleh Thomas Kuhn, ketika para kaum beragama kelak menganggap hal itu sebagai sebuah kebenaran mutlak.

Sebenarnya apa yang MUI utarakan kepada sistem BPJS itu benar dan harus diapresiasi. Sebagai kelompok ulama dan cendekiawan, ada usaha mencerdaskan umat dalam kritiknya. MUI ingin membangun prinsip keterbukaan dan transparansi dalam pelaksanaanya. Apalagi masalah kesehatan di Indonesia adalah sesuatu yang cukup eksklusif dan jauh dari pikiran kritis masyarakat, bahkan kadang tertutup. Namun rasanya kurang bijak ketika mengusulkan stempel “syariah” untuk sistem tersebut.

Rasanya kurang pas ketika menempatkan doktrin agama secara terang – terangan di dalam pelaksanaan program negara yang menjunjung nilai Bhineka Tunggal Ika. Selain itu konsekuensi dua sistem pelayanan dalam satu negara, adalah pertarungan dan pilihan. Kelak akan ada cap “baik” untuk yang menggunakan BPJS syariah dan “tidak baik” untuk BPJS konvensional. Sekalipun bukan maksud memecah belah, mungkin akan ada pengukuhan BPJS syariah akan masuk surga, sedangkan BPJS konvensional akan masuk neraka. Pihak ideologi atau agama lain bisa saja menolaknya – seperti penolakan bank syariah – lalu tumbuh klaim atas surga dan neraka lewat dalil agama akan jaminan kesehatan itu.

Cukupkan saja hanya GM di Indonesia yang menceburkan pembaca ke dalam hal – hal yang tak selesai. Mungkin ada baiknya titik fokus perjuangan berada pada perjuangan fatwa hukuman mati bagi koruptor yang jadi kasus tak berkesudahan dan senantiasa mengisi headline media - media di republik kita. Atau memfokuskan dalam usaha pencegahan kasus Tolikara dan intoleransi kembali merebak di bentangan Indonesia.


Lebih baik mengasah satu pisau menjadi tajam dibanding dua pisau namun keduanya tumpul. Satu BPJS baiknya diasah dan diperbaiki, daripada menciptakan dua BPJS yang memperuncing hal – hal yang tak selesai.

Dimuat Literasi Tempo, 8 Agustus 2015

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)