Andi Fadlan Irwan, Kau Tidak Sendiri


Minggu subuh itu, saya dikagetkan oleh banyak pesan masuk di salah satu grup Whatsapp. Isinya sebuah berita rekan saya yang mengalami persekusi setelah ikut berpartisipasi dalam twitwar bersama akun Twitter Tifatul Sembiring dan Taufiq Ismail sebelumnya membahas terkait topik 65.

Ada sebuah agama yang pernah membantai ratusan juta manusia selama ribuan tahun di slrh dunia: islam.

Ciutan itu langsung dibalas dengan rentetan makian, juga beberapa diantaranya adalah ancaman. Tak luput juga beberapa media yang tanpa klarifikasi langsung saja memuat berita bermodal  satu dua informasi. Pun para netter juga turut meliar. Informasi pribadinya di Facebook dan media sosial lainnya menjadi modal untuk persekusi.
Sekilas memang pendapat ini bisa dibilang ngawur, namun seberkas Ingatan masuk saat pertemuan pertama saya, sekitar tahun 2009.
***
Kali itu saya bertemu dengannya di media sosial, Facebook. Andi Fadlan Irwan, namanya memang sudah santer terdengar di wilayah kampus kami. Namun saya membaca pikirannya kala melihat notes yang dia buat. Isinya adalah pergolakan pemikiran, mengingatkan saya pada goresan Ahmad Wahib ataupun Soe Hok Gie. Lewat media itu juga, kami saling mengomentari status ataupun notes.

Beberapa bulan kemudian saya bertemu dengannya di salah satu pelatihan dasar organisasi yang membesarkan kami, HMI. Di situ dia tampil sebagai instrukutur, sebuah jabatan yang lumayan prestise untuk kader organisasi tersebut. Saya? Ya, saya adalah penonton dari luar. Bacaan saya saat itu adalah Rolling Stone Indonesia dan Heavier than Heaven, biografi Kurt Cobain. Yah, konsumsi paling ‘revolusioner’ saya mungkin menikmati “Imagine”, Iwan Fals, Navicula, serta  beberapa nomor Seringai atau Rage Against The Machine, atau album Ost.Gie.  

Sedangkan tuntutan untuk menjadi instruktur adalah membaca buku-buku filsafat dan sosial—sayangnya saya cuma bisa membaca kulit-kulitnya. Lain halnya Fadlan, dia membaca Murtadha Muttahari, Ali Syariati, Cak Nur, Jurgen Habermas, Goenawan Mohammad,  Muhammad Iqbal, Al-Ghazali, Asma Nadia, hingga Ayu Utami. Latar belakangnya sebagai seorang dokter turut membuat orang mangap-mangap—terlebih perempuan. Sangat sulit didapatkan di Fakultas Kedokteran, yang berkejar dengan labirin kurikulum yang padat. Fadlan seorang polymath, melampaui para calon dokter lainnya.

Tapi menariknya, Fadlan bukanlah orang yang pongah. Padahal biasanya, di HMI—khususnya di UNHAS—tidak jarang ditemukan orang yang tinggi hati, setelah membaca satu-dua buku filsafat atau mewariskan ilmu materi dari senior. Dia masih menegur saya. Bahkan dia tak sungkan mengajak saya diskusi seputaran gerakan underground. Dia hanya mengangguk sesekali menimpali atau bertanya tanpa menghakimi.

Setelah itu kami sering berdiskusi, terlebih dengan hadirnya beberapa rekanan lainnya yang suka membahas topik sastra, musik, dan sesekali mengkritisi Goenawan Mohammad baik langsung ataupun via media sosial. Ya, memang masa bermahasiswa adalah masa yang paling indah untuk berdialektika.

Setelah kami selesai berkuliah, saya melihat ada sesuatu yang tidak tuntas pada Fadlan. Kegelisahan-kegelisahannya semakin merebak. Dia tumpahkan semua ke dalam status Twitter, Facebook, ataupun tulisan esai yang lebih panjang.
Tulisannya yang melejit adalah “Menolak ‘Maaf’ Goenawan Mohammad’ dan ‘Anomali HMI’ di Rilis.id. Di situ ada perasaan bangga memiliki rekan seorang penulis yang mencetak puluhan ribu viewers; dan karyanya di share oleh para begawan. Sebuah prestasi yang besar untuk anak HMI, sebuah organisasi yang  kiranya mengalami dekadensi intelektual.

Namun, di satu sisi, saya melihat ada bom waktu yang tertanam. Setelah tulisan itu meledak, jempol Fadlan seakan tidak terkontrol di media sosial. Matanya tidak pernah terlepas dari gawai, bahkan saat bercerita dengan teman-temannya. Dunianya adalah media sosial dan gawai.

Dia mengunggah dan mengkritisi banyak hal. Dia semakin sering bersitegang dan menjadikan linimasa sebagai palagan. Sebagai seorang dokter, dia banyak merecoki ‘piring nasi’ para ahli agama.

Topik yang paling sering dia angkat adalah soal agama. Seandainya saja, dia adalah seorang sarjana agama, pengkhatam kitab kuning, lulusan pesantren, ataupun anak seorang Kyai; itu mungkin bisa dimengerti.

Di media sosial, dia mulai bergaya seperti Akhmad Sahal, Nadirsyah Hosen, Ulil Abshar Abdala, atau Arman Dhani. Tanpa basis komunitas yang jelas dan argumen yang berdasar data dan referensi adekuat, dia mulai menyasar nama-nama besar dan topik-topik yang  sensitif. Terkadang letupan-letupannya sifatnya emosional dan sentimentil.

Bom itu meledak saat ciutannya yang di atas menyasar Taufiq Ismail dan Tifatul Sembiring yang saat itu menyatakan 125 juta orang dibantai oleh komunis.

***
Subuh itu, saya kemudian iseng menghubungi Fadlan. Tiada gentar terdengar di suaranya. Satu-satu hal yang dikhawatirkannya adalah keluarganya yang konon mendapatkan ancaman. Ada rasa penyesalan dari nada suaranya. Saya langsung teringat pada kasus Fiera Lovita, seorang dokter yang kena persekusi setelah menghina ‘Imam Besar Umat Islam’.

Di situ ada rasa amarah yang hadir di diri saya. Apakah adil pendapat dibalas dengan ancaman? Apakah benar opini 140 kata dibalas dengan kebengisan dan teror? Apakah agama memang mengajarkan kita membenci terhadap yang berbeda?

Di situ saya ingin menghardik reformasi. Yang katanya ingin menghentikan totaliter yang terjadi di era Orde Baru. Tapi nyatanya totaliter berasa fasis itu bersemayam dalam  penggerak akun-akun yang melakukan persekusi pada Fadlan. Ya, reformasi mungkin gagal dalam hal ini. Padahal Fadlan melakukan argumentasi—sekalipun bagi saya masih terbilang lemah.

Sekalipun Fadlan tidak sepenuhnya benar. Saya lebih menyalahkan para pelaku persekusi. Bagi saya persekusi itu kelak akan mengancam kita. Meminjam lirik Manic Street Preacher, jika kita bertoleransi akan ini, anak cucu kitalah yang berikutnya.

Fadlan beberapa waktu lalu telah mengunggah surat permintaan maafnya. Di situ dia sangat terlihat sangat rapuh. Namun saya tahu mundur selangkah tidak berarti kalah. Bisa jadi sebuah pijakan untuk lompatan besar kelak. Apapun itu Fadlan, percayalah kau tidak sendiri.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)