Akhirnya Kutemukan Pop Sebenarnya (Review Album Senandung Senandika--Maliq & The Essential)



Nama Artis
:
Maliq & The Essential
Judul Album
:
Senandung Senandika
Rilisan
:
Organic Records
Tahun
:
2017

Senang sekali bisa mengulas karya dari Maliq & The Essential. Apalagi mendengarnya. Bagi saya band ini adalah salah satu band pop terbaik yang dimiliki Indonesia hari ini. 

Salah satunya adalah keberanian mereka untuk mendobrak zona nyaman mereka. Di sini lah menariknya definisi pop dalam kamus mereka. 

Bisa saja mereka tetap bertahan dengan pakem yang sudah membuat mereka melejit—seperti layaknya kebanyakan band mainstream lainnya—dengan formulasi “Untitled”, “Terdiam”, ataupun “Dia”.

Pilihan menukik itu membuat saya terkagum. Album Setapak Sriwendari dan utamanya Musik Pop. Dari komposisi musik dan lirik, mereka berusaha untuk membawa kita menelusuri era keemasan musik progressive rock dan Rumah Pengangsaan di tahun 70-an. Hal itu dilengkapi dengan album Senandung Senandika ini.

Kalau mengacu pada KBBI, senandika berarti wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, atau untuk menyajikan informasi yang diperlukan pembaca atau pendengar. Mungkin di album ini, Maliq ingin menyelipkan wacana atau pergolakan mereka akan selera pasar, kemapanan  mereka, atau mungkin sebuah obsesi.




Ya, saya melihat ada obsesi sextet ini untuk sejajar dengan Guruh Gipsy atau album legendaris the Beatles, Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band. Perkawinan Barat dan Timur, modern dan tradisional, orkestra dan synthesizer, hingga Umi Kulsum dan Earth, Wind, & Fire. 

Beberapa pemilihan nada di lagu ini tidak umum dilakukan oleh band pop-jazz pada umumnya. Pun juga lirik berbahasa Indonesia dengan tema dan diksi yang mengingatkan akan lagu-lagu Chrisye, Keenan Nasution, atau Guruh Soekarnoputra.  

Dibuka dengan lagu “Sayap”. Suara sitar mengalun dipadu dengan nuansa elektronik. Beralih ke nuansa trip hop membuat kepala bergerak pelan. Lagu “Musim Bunga” dibuka dengan orkestra dan kicau burung. Trek ini membawa nuansa beat Motown yang ceria dan merekah.

 Di “Maya”, Maliq menggabungkangkan nuansa Arab dan funk. Serasa berada di sebuah lounge di padang pasir dengan jus jeruk, sembari menonton tari perut di panggungnya. Oh iya, lagu ini mengingatkan saya pada beberapa nomor rilisan Arabic Lounge atau Turkish Groove keluaran Putumayo. Liriknya pun cukup kontekstual dengan mengambil tema dunia media sosial. 

“Senang” adalah lagu yang paling easy listening di album ini. Lirik yang mudah dicerna bercerita tentang hari yang terbaik dalam hidup seseorang. Pemilihan nada yang mampu mengunci di ingatan. Wajar lagu ini menjadi single yang dibuatkan video klip.

Jarang sekali sebuah band jazz menceritakan tentang kiprah seorang guru. Widi,dkk memilik trek “Kapur” untuk menceritakan itu. Saya membayangkan saxofonis, John Coltrane dengan tiupannya hadir di pertengahan hingga akhir lagu ini.

Eksplorasi yang lumayan berani dilakukan pada “Titik Temu”.  Bebunyian synthesizer, sitar, sampel suara, hingga vocoder menjurus pada psychedelic. Lagu ini mungkin enak didengarkan sembari menikmati “tumbuhan”. Lagu kedelapan, “Senandung Senandika” mempertunjukkan kemegahan mengingatkan pada The Killers yang bercerita tentang dinamika sebuah karya fiksi.

Benang merah dengan Maliq dahulu dapat dilihat pada lagu akustik “Idola” yang merupakan eksperimentasi harpa dengan lead synthesizer. Di sini  Angga bernyanyi menggunakan teknik falseto seperti yang sering diperagakannya pada album Free Your Mind.  Serta lagu “Manusia” yang mengingatkan pada lantunan groovy  “Dia”.

Dari segi kemasan, album yang diproduseri oleh  Organic Records ini  memiliki cover dengan lukisan surealis di setengah kotak CD. Di setengah lainnya, menunjukkan plastik bening kotaknya dengan stiker judul album ini.

Di dalamnya selembar postcard terselip. Sepertinya juga band ini keranjingan melakukan mastering di studio legendaris, Abbey Road. Entah apa maksudnya tiada menghadirkan lirik di sleeve. Bisa jadi itu strategi untuk membuat pendengar penasaran.

Sekalipun album ini tidak membuat saya tecengang seperti mendengar Musik Pop. Album ini wajib didengar untuk orang-orang yang ingin menikmati sajian baru dari pop dan jazz. Terutama yang menyukai khazanah musik pop Indonesia tahun 70-an hingga 80-an.   


Komentar

  1. "Selamat siang Bos 😃
    Mohon maaf mengganggu bos ,

    apa kabar nih bos kami dari Agen365
    buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
    ayuk... daftar, main dan menangkan
    Silahkan di add contact kami ya bos :)

    Line : agen365
    WA : +85587781483
    Wechat : agen365


    terimakasih bos ditunggu loh bos kedatangannya di web kami kembali bos :)"

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)