Dokter Gigi Harus Menciptakan Penyakit
Pada suatu malam saya mengamati sebuah grup WhatsApp saya di
gawai, isinya merupakan para alumni salah satu organisasi extra kampus di
mantan institusi tempat saya belajar.
Di salah satu grup seorang senior dokter
gigi memosting tautan mengenai polemik kedokteran gigi kekinian. Yah, apa lagi
kalau bukan soal prahara internsip kedokteran gigi.
Di dalam tulisan itu, senior
kedokteran gigi menolak--dengan seabrek rasionalisasinya--Permenkes
berkenaan dengan internsip tersebut.
Garis besar isinya adalah bagaimana adanya
kewajiban calon dokter gigi untuk melakukan internsip sebelum mendapat surat
izin untuk berpraktek dan tanda registrasi.
Saya sangat mengerti maksud senior
saya untuk memosting tulisan itu di grup yang notabene isinya para begawan dan
cerdik cendikia, namun apa daya tak berbalas seperti diharapkan.
"Masalah terbesar dokter
gigi di Indonesia adalah, lebih banyak dokter gigi dari pada jumlah gigi yang
sakit. Tapi ini masih perlu diverifikasi kebenarannya," tulisnya.
Sekalipun tulisan itu mungkin
sifatnya hanya selentingan yang mungkin tidak perlu ditanggapi. Tapi rasanya
ujaran itu agak menonjok saya selaku orang yang terlahir dari kawah
candradimuka kedokteran gigi.
Betul, bahwa penyakit gigi dan
mulut tidak memiliki prevalensi yang besar jika dibandingkan dengan ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) ataupun penyakit non-infeksi--yang konon kata
Menkes di Harkesnas tahun 2016, menjadi penyebab kolapsnya BPJS dan
menginspirasi sejumlah Germas yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan.
Penyakit gigi dan mulut bisa
dibilang masih penyakit "kelas dua" di fasilitas kesehatan, sekalipun
kadangkala dapat menjadi penting untuk kasus tertentu.
Hal ini bisa dilihat
dari beberapa fasilitas kesehatan khususnya di daerah yang tidak dilengkapi
dengan fasilitas yang adekuat. Beberapa rekanan di daerah mengeluhkan kursi
giginya tidak ada, ataupun betapa sulitnya meyakinkan kepala Puskesmas untuk
membeli peralatan atau bahan untuk kedokteran gigi. Dengan alasan anggaran.
Saya adalah orang yang selalu
menantang hal itu, namun ah.. lagi-lagi saya harus bertabrakan dengan realitas,
bahwa kenyataanya mayoritas penyakit gigi dan mulut tidak menyebabkan
kematian--sekalipun di Faskes saya. Sekalipun saya pernah menghadapi beberapa kasus
kegawatdaruratan karena sumber infeksinya dari gigi dan mulut.
Ah sudahlah, saya tidak ingin
membahas ini lebih lama. Mungkin ada baiknya kita memikirkan sesuatu yang lebih
visioner dan tidak sekedar megulas masa lalu. Lagipula topik ini terlalu klise
dan sudah banyak diulas.
Sekiranya
mungkin sudah saatnya para dokter gigi berpikir out of the box.
Bahwa dunia kedokteran gigi tidak sebatas klinik saja dan sebatas skill kasar.
Berkaca dari pengalaman, justru hal inilah yang menurut saya
menciptakan bagaimana pandangan dunia banyak para dokter gigi.
Jangan heran
ketika para dokter gigi banyak yang berpikir mekanistik, teknis, dan bersifat
periferal dalam menggali sebuah masalah ataupun khazanah—bersyukurlah mereka
yang juga ditempa diluar institusi itu.
Para lulusan kedokteran gigi kemudian
kebanyakan masih berpikir tentang setelah itu dia harus ke klinik, jarang
sekali yang sekali memikirkan mengisi pos lain. Peneliti, birokrat, pengusaha
di bidang kedokteran gigi, pemikir, atau bahkan organisatoris dan aktivis. Bisa
dibilang ruang klinik sudah terlalu sempit untuk dokter gigi.
Saya sepakat dengan Muhammad
Arman, bahwa dokter gigi mendapatkan pukulan telak dari para tukang gigi.
Kekalahan itu karena dokter gigi tidak dibekali kemampuan sosiologi dan
antropologi, beda dengan para tukang gigi yang bisa dibilang pengaruhnya
mengakar kuat di masyarakat.
Selain itu harga. Saya harus mengakui untuk masalah pembayaran
para tukang gigi memainkan harga dibawah, sedangkan dokter gigi di atas—sayangnya
klinik gigi bahkan menetapkan tarif lebih dari 3 kali lipat dari modalnya.
Tukang gigi banyak juga memakai sistem “turba”, turun ke basis alias door to door. Dokter gigi? Ya, mereka duduk
ngangkang di klinik mereka yang ber-AC dan bersih. Soal data, tukang gigi di daerah-daerah bahkan lebih khatam soal penyebaran karies dan kebutuhan gigi palsu dibandingkan dokter gigi.
Saya pikir itulah yang harus dibenahi. Profesi yang ideal, adalah
profesi yang dimiliki masyarakat. Bukan mengeklusifkan diri di dalam
kemapanannya.
Menciptakan jejaring di luar klinik, saya pikir itu bisa membuka
ruang untuk ekspansi kedokteran gigi ke ranah-ranah lainnya. Kedokteran gigi
butuh figur seperti Sigmund Freud, Che Guevara, Foucault, dan lain-lainnya.
Ekstrimnya, saya berpikir bahwa
kedokteran gigi ini membutuhkan para pakar penyakit, ahli bakteri,
parasitologi, atau bahkan virulogi. Kesemuanya haruslah berpikir tentang supply
and demmand. Mengacu pada buku mantan Menkes, Siti Fadhilah Supari, Saatnya
Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Bisa juga novel Aldous Huxley, Brave New
World.
Saya tahu, tesis tersebut mungkin hampir bisa dibilang sebuah teori konspirasi, yang masih belum bisa dibuktikan kebenarannya. Namun sekiranya itu bisa jadi pembelajaran.
Di situ dapat kita lihat keberhasilan negara digdaya memainkan
peranan dalam industri farmasi karena mereka mampu menciptakan rantai kebutuhan
itu.
Menciptakan penyakit sekaligus penyembuhnya. Mencipatkan ketakutan
sekaligus harapan.
Di sinilah kita perlu melihat bahwa keberhasilan kedokteran
gigi bukan hanya sebatas estetik dan permainan followers dan like di
Instagram. Karena persoalan itu adalah persoalan kelas menengah dan borjuis.
Sangat jauh dari level akar rumput yang mungkin masih merasa gigi
hilang itu persoalan tidak mengganggu dia untuk mencari sesuap nasi dan
menikmati hidup.
Veneer dan penambalan
biomemic tidak menjadikan Indeks
Kebahagiaan para ibu-ibu di pasar meningkat dan Koefisien Gini menurun.
Harus disadari kebutuhan terbesar seseorang akan kesehatan akan
muncul saat simptomnya dirasakan dan cukup mengganggu produktifitas kerja.
Disinilah kita perlu berperan menampilkan wajah kedokteran gigi yang universal
dan bukan hanya soal estetika yang banal.
Kenapa tidak kita memikirkan menumbuhkan sebuah penyakit berbahaya
yang bersumber dari gigi dan mulut? Kenapa tidak kita memikirkan sebuah endemik
yang hanya dapat dituntaskan oleh peralatan dokter gigi?
Kenapa tidak kita
mencari virus dan bakteri mematikan yang reseptornya adalah jaringan
periodontal dan gigi. Kenapa pula kita tidak mengakali agar karies dan saliva
dapat menularkan penyakit dengan mudahnya?
Disitulah para peneliti harus bermain sekaligus menciptakan
penyembuhnya. Dan ketika itu terjadi, tentunya dokter gigi akan memiliki nilai
lebih.
Saya pikir tantangannya adalah karena gigi adalah jaringan anorganik
yang mungkin masih sulit untuk mengembakbiakkan penyakit infeksi dengan banyak
metode penularan.
Ini bukan tugas yang gampang. Ini adalah tugas jangka panjang yang
harus dipikirkan bersama. Eksistensi akan berpengaruh pada pilihan-pilihan dan
manuver-manuver yang membutuhkan tangan-tangan dengan kerelaannya untuk
berkubang dosa dan pengorbanan.
Ya begitulah, tulisan ini mungkin hanyalah selentingan ngawur yang kebermaknaannya tergantung
pembaca. Anda bisa mengatakan ini tidak penting, namun di satu sisi ketika Anda
mengatakan ini bisa memantik wacana lebih lanjut tentu saya sangat bersyukur.
Karena di situ saya bisa merasa sejajar dengan Schopenhauer atau Marx.
Dan suatu hari saya memimpikan dokter gigi akan berdiri gagah. Tanpa
diskreditkan sebagai dokter tingkat dua dibawah dokter umum ataupun spesialis
lainnya.
Di hari itu pula saya akan berkata kepada senior yang menuliskan pesan
WhatsApp itu,
“Hey, dokter gigi itu banyak tapi orang yang sakit gigi itu lebih
banyak.”
Komentar
Posting Komentar