Hingar Bingar Jalan Gelap Si Kelelawar Malam

Tampak depan album Jalan Gelap

Artis: Kelelawar Malam
Album: Jalan Gelap
Rilisan: Lawless Records

Indonesia adalah kaya akan warisan budaya, termasuk dalamnya bagaimana yang berkaitan dengan alam gaib. Alam gaib ini berwujud kengerian dapat diperoleh dalam cerita-cerita seperti pocong, kuntilanak, atau mungkin yang lebih populer pada film-film yang dibintangi Suzanna.

Kesemua perihal itu membangkitkan atensi saya saat pertama kali melihat sampul album Kelelawar Malam, Jalan Gelap. Ilustrasinya mengingatkan pada komik Siksa Neraka--yang membuat saya bergidik saat masih SD dulu—dalam format hitam putih.

Dan kengerian itu kemudian terjemantahkan dalam delapan trek rilisan Lawless Records ini. Nuansa Danzig sangat terasa di lagu pertama, Jalan Gelap. Karakter suara utama (saya berasumsi Sayiba Von Mencekam) layaknya Michael Graves  atau nada rendah Dave Gahan dari Depeche Mode . Berbeda dengan vokalis satunya (mungkin saja Deta Beringas) yang sangat hard rock—sebut saja Glenn Danzig. Sisipan lead gitarnya menampilkan sisi heavy metal. Kira-kira mungkin wajah ini yang hendak ditampilkan Kelelawar Malam di album ini.  Kombinasi dua vokalis yang berbeda karakter ini nyatanya yang memberi kesan bahwa band ini adalah gabungan Misfits di tiga era vokalisnya (Michaels Graves, Jerry Only, dan Glenn Danzig). 

Selanjutnya di lagu Desmondus Rotundus, Ordo Vampir, dan Setan Jalanan, suasana Misfits sangat kental terasa. Di Babylon, band ini menampilkan sisi Black Sabbath, tengok saja sayatan gitar dan solo gitar yang mengingatkan pada permainan gitar Tomi Iommmi. Sisi agresif dan kekacauan khas band punk terasa di Horor Metal Punk—bisa jadi mereka menyebut aliran musik mereka dengan nama ini. Kocokan gitar yang umumnya diperagakan oleh gitaris funk ditampilkan pada trek Sang Pembantai.

Tampak dalam

Formasi tiga orang di gitar ini sepertinya sedikit membingungkan dari segi efektifitas jika menyimak dari trek awal hingga lagu ketujuh. Ketiga gitarisnya sepertinya memainkan riff gitar yang sama—kecuali sesekali porsi lead gitar. Namun kebingungan itu segera terjawab pada trek terakhir album ini, Merapi. Di bagian outro, harmonisasi ketiga gitaris itu terjalin.

Album ini turut pula dihiasi artwork ilustrasi lirik-lirik lagu. Bisa jadi menambah imajinasi kita hingga terbawa dalam mimpi. Salah satu yang paling menakutkan adalah melihat wajah tersenyum seorang psikopat dengan tangan kanan pisau terhunus bernoda darah di Sang Pembantai—Tuhan, tolong jangan pertemukan saya dengannya.

Lihat wajahnya itu.. Wuiihhh...

Sekalipun ke-Indonesiaan band ini sudah ditopang dengan lirik berbahasa Indonesia, sebenarnya saya juga berekspektasi album ini lebih banyak menyajikan tema-tema horor lokal yang kaya—apalagi melihat sampunya. Pun sangkaan saya, mendengar tulisan Abdullah Harahap atau kumcer  Kumpulan Budak Setan versi punk.

Namun sayang sekali, hal ini seperti dilewatkan oleh  Kelelawar Malam.  Kelelawar Malam lebih banyak mengeksplor sisi barat-baratan, seperti gambaran vampir dan drakula. Padahal Indonesia memiliki hantu yang tidak kalah seramnya, sebut saja sundel bolong, kuntilanak, pocong; atau mungkin parakang dan poppo’ di Sulawesi Selatan. Bahkan lagu Lingsir Wengi sudah cukup membuat bulu kuduk berdiri.

Kalau saja ini terjadi, mungkin band ini layak menjadi duta budaya horor Indonesia di mancanegera sekaligus mereduksi ke-Misfits-annya.

Lupakan sejenak kekurangan itu. Kelelawar Malam kemudian memberikan kita sebuah perspektif bahwa mendefinisikan kengerian sebuah jalan gelap dalam lagu cadas dan bawah tanah, tidak harus dengan nada minor. Tidak juga dengan blast beat, atau lolongan dan teriakan. Mereka mampu menunjukkan nada mayor, hingar bingar distorsi gitar, dan nyanyian sing-along dapat mendefinisikan rasa takut akan pemuja setan, maniak-psikopat, hingga misteri misteri Gunung Merapi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)