Saya dan Rekan Hizbut Tahrir


Tahun 2009 lalu, saya naik mobil panther menuju Makassar. Malam itu saya meninggalkan posko KKN Bantaeng menuju kota untuk membereskan keperluan administrasi perkuliahan semester depan. Di atas mobil itu saya bertemu dengan Aray (sebut saja dia seperti itu).
Aray adalah rekan SMP dan SMA saya. Tidak ada yang terlalu mencolok dengannya semasa bangku sekolah. Lain halnya ketika masuk bangku kuliah. Dia bermetamorfosis menjadi aktivis Hizbut Tahrir. Saya terkejut, mengingat saya mengenal betul rekam jejaknya selama di bangku sekolah jauh dari sesuatu yang bersifat relijius, apalagi yang sifatnya mengakar.
Beberapa kali saya melihat dia di mushallah fakultas mengumandangkan takbir beserta agitasi anti Barat dan kapitalisme. Tak luput pula beberapa kali mata saya menangkap dia menjadi koordinator lapangan aksi dengan kepala dibalut panji perang yang menjadi logo organisasinya.
Di salah satu persinggahan mobil sewaan, saya bersamanya duduk selonjoran meluruskan kaki di warung. Sembari menunggu pemesanan makanan saya, kami bercengkrama. Dia menatap kaos saya.Ya, saat itu saya memakai t-shirt bertuliskan "Deicide"--grup band deathmetal legendaris dengan atribut pentagramnya.
"Ko tau kalau itu lambang setan?" tanyanya sembari menunjuk baju saya.
Ya, musik metal memang selalu identik dengan seperti itu. Apalagi grup band ini. Vokalisnya sendiri, mengklaim diri sebagai penganut Church of Satan, asuhan Antoni Szandor La Vey.

Belum sempat saya membalas, dia sudah memberondong dengan ceramah-ceramah. Mengingatkan saya akan film-film Harun Yahya yang ngetrend semasa saya sekolah dulu.
"Tidak ada demokrasi dalam Islam. Demokrasi itu tipuan Barat. Sama seperti yang ada di bajumu." Dia mengucapkan itu dan kemudian beralih dari tempat duduknya menuju kulkas jualan minuman warung tersebut. Dia mengambil sekaleng coca-cola. dan kemudian kembali ketempat duduknya. Khotbahnya kemudian berlanjut seputar teori konspirasi: Zionisme dan Penjajahan Amerika. Tak lupa dia membasahi kerongkongannya dengan kesegaran minuman cola dingin.
Mungkin saat itu dia lupa bahwa coca-cola adalah produk dari apa yang dia benci.
Saya tidak menyanggahnya dan hanya tertawa dalam hati.
Hampir sewindu berlalu, dan saat itu layar gawai saya menunjukkan bahwa organisasi yang membesarkannya sebagai harimau saat orasi itu kelak dibubarkan.
Saya penasaran bagaimana dia saat ini. Yang pasti, penolongnya terletak pada produk yang dia lawan: demokrasi. Mungkin dia memikirkan itu sembari menikmati sekaleng coca-cola.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)