Sang Ibu Bercadar dan Dokter Giginya



Puasa baru akan dimulai beberapa hari namun bisa dibilang saya mungkin telah melumuri diri saya dengan prasngka pada satu hari itu. 

Malam itu sehabis magrib, klinik saya kedatangan seorang ibu bercadar. Dia membawakan saya seamplop rujukan dari dokter jantungnya. 

"Saya mau operasi jantung,  Nak.  Katanya harus cabut gigi yang rusak," imbuhnya sembari mata saya menjejali surat keterangan tersebut. 

Saya memicingkan mata dan melihatnya. Ingatan saya berkelindan dengan masa lalu. Utamanya saat menjadi pelajar dan mahasiswa. 

Bisa dibilang saya adalah orang yang kurang respek terhadap para Islam Kanan. Mereka-mereka yang menonjolkan simbol beragama. Entahkah itu janggut,  celana cungkring, bahkan cadar. 

Pemikiran saya gaya seperti itu sudah tidak relevan lagi dengan zaman dan terlalu primitf. Apalagi dalam pengalaman saya terhadap sosok seperti itu tak jauh dari karakter yang agresif dan closed-minded. 

Ya,  dari SMA,  saya selalu dijejali di mushallah bahwa musik--yang menjadi nafas kedua saya--itu haram. Teman-teman saya yang melabelkan diri 'ikhwan' bahkan menganggap seni itu adalah produk setan. Titik terekstrimnya adalah ketika mereka melakukan pemogokan dalam upacara dan menolak hormat pada bendera merah-putih. Tentu dengan alasan menyekutukan Tuhan. 

Di bangku kuliah, saya berteman dengan banyak aktivis Islam kanan tersebut.  Di situ saya mendapati di dalam kelompok tersebut terdapay subkelompok lagi yang mungkin berbeda visi, misi,  ataupun metode gerakan. Sebut saja Hizbut Tahrir,  KAMMI,  ataupun Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Mungkin kesemuanya lebih ringkasnya dapat dilihat pada penelusuran Google. 

Beberapa rekanan dan senior yang aktivis ini senantiasa berkoar tentang Islam. Bagaimana politik Islam. Bahkan beberapa menganggap negeri ini telah kufur. Terlebih saya yang dikenal sebagai ateis,  komunis,  LGBT,  syiah,  dan liberal. 

"Saya kira dokternya cewek, " ujar suaminya yang kebetulan memenaminya. 

"Sudah resign Pak. Saya dokter barunya."

Dari situ saya sudah yakin,  pasangan ini akan meninggalkan klinik.  Apalagi kalau bukan dalil agamanya. Perawatan gigi seperti pencabutan giginya juga tidak dalam kondisi kegawatdaruratan medis juga. 

Mereka hanya tersenyum ramah. Si Ibu kemudian berkata, 

"Tidak apa-apa kok Dok."

Beberapa detik setelahnya,  dia kemudian membuka cadarnya. Saat itu saya merasa gugup. Bukan karena Si Ibu cantiknya seperti dalam kisah Ayat-Ayat Cinta,  tapi lebih ke perasaan terbebani akan tanggung jawab. 

Saya sangat yakin seseorang yang dengan pilihan ideologisnya tak akan memilih meninggalkan pilihan tersebut tanpa alasan jelas. Terlebih kepada saya yang merasa jauh dari surga. Dan utamanya pilihan ideologi yang berseberangan. 

"Anaknya sudah berapa Dok?" tanya Si Ibu

"Wah saya belum nikah Bu."

"Pacar ada kan dok?" balasnya. Saya hanya tertawa. 

Saya terkesiap dengan segala piranti pencabutan di kursi gigi saya. Mulailah pekerjaan saya. Anestesi menyusur gusi, bein dan tang untuk menggoyangkan dan mencabut gigi. 

Tidak ada halangan yang berarti. Betapa berterimakasihnya dia setelah pencabutan itu. Suaminya juga ikut sumringah. Si Ibu kemudian menutup kembali cadar setelah sembelumnya diberi kapas untuk meredam luka yang merembes di tempat pencabutan. 

Dia kemudian setiba-tiba bertanya, 

"Dokter suka makan gudeg ya? "

"Wah,  suka sekali Bu."

Saat menjawab itu,  saya tidak memiliki pretensi apapun dia bakal datang kembali. Dia kemudian pulang meninggalkan klinik. 

Apa yang saya tidak perkirakan adalah esok harinya. Saat itu dia dan suaminya kembali datang. Di sampingnya kantong plastik hitam seperti kotak. Dia masuk ke ruangan dan memberikannya kepada saya. 

"Ini gudegnya Dok, " Tangannya mengulurkan plastik itu kepada saya. 

"Wah makasih Bu," balasku. 

Dia mengucapkan kembali terima kasih yang sangat. Padahal bagi saya,  apa yang saya lakukan hanyalah rutinitas biasa seorang dokter gigi. 

"Ibu kenapa baik dengan saya?" Pertanyaan itu meluncur spontan. 

"Orang baik ya harus disayangi lah Dok," balasnya sembari tertawa. 

Si Ibu kemudian melanjutkan,  

"Semoga langgeng dengan pacarnya ya." 

Mereka kemudian meninggalkan saya di ruangan klinik,  sembari menyisakan pernyataan dalam benak saya, 

Ternyata saya orang baik. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)