Sang Penonton

Seorang rekan menunggui televisi. Tangannya bermain-main dengan gawai. Mengamati linimasa dengan banyak swafoto orang-orang yang telah menunaikan ibadah kenegaraannya, dengan cap keunguan di jemarinya. Sedari mata membuka atensinya terarah pada kedua hal tersebut. Hari ini baginya adalah pertarungan, yang sayangnya saya tidak merasakannya.

Saat saya sedang menikmati mie instan, dia bahkan tidak melihat kearah saya yang sangat khidmat menikmati. Saya menawarkannya segelas teh atau kopi, tapi tetap saja dia hanya diam melongo. Dia tidak lapar, tidak juga haus. Denyut penasarannya memburu, mengalahkan kebut asam lambungnya yang sedari malam tadi tidak diisi oleh penganan.

Bisa dibilang rekan yang satu ini adalah orang yang cukup ribut di media sosial. Dia orang gemar perang demi mendukung salah satu kandidat Pilkada Jakarta. Juga dia mengklaim diri sebagai seorang muslim yang taat. Ketaatan itu ditujukannya dengan menyerang pendukung atau menyebarkan berita-berita yang kiranya ia memojokkan agama yang dia anut.

Dia kritis dan berani. Klaimnya sebagai corong vox populi, vox dei, atau bisa jadi sebaliknya.

Dia memainkan layar smartphone dengan jejarinya, menunggu siapa yang ingin diajak bertarung debat. 

Dia adalah seorang pendatang dari daerah, yang mengadu nasib di ibukota. Baru sekitaran belum setahunan dia di ibukota namun isu-isu soal kandidat dan berbagai permasalahan urban lainnya dia kunyah mentah-mentah. Dan siap dia muntahkan ketika pengusiknya mulai beraksi.

Tapi sayangnya dia tidak menunaikan ibadah demokrasinya. Tangannya nyaris tanpa tanda keunguan. Dirinya bahkan tidak mampir ke TPS untuk mencolok kandidat favoritnya. Itu bukan karena dia tidak mau. Ya, lagi-lagi itu karena dia tidak memiliki identitas Jakarta. Identitas yang dapat menjadi pintu untuk betul-betul beramal atas apa yang dia perjuangkan. 

Bahkan lebih hebatnya dia lebih ribut dari para warga legal Jakarta. 

Pilkada layaknya sebuah pertandingan atau acara televisi, menguras emosi. Di satu sisi memabukkan sehingga kita ingin selalu menikmati alur. Utamanya: mengetahui ending dari tayangan tersebut. Terkadang tanpa sadar kita menangis, kita tertawa, bahkan kita marah dan meluapkan emosi; tanpa menyadari bahwa yang kita saksikan adalah panggung sandiwara. Sebuah panggung sandiwara yang kesemuanya memakai topeng seperti yang Achmad Albar dan Ian Antono singgung di lagunya.

Mereka bisa jadi sedang tertawa-tawa atau bisa jadi mereka kini telah semeja makan dengan segala deal-deal politiknya. Hari ini kita bermusuhan, namun bisa jadi hari ini mereka telah berteman.

Konon katanya, penonton memang selalu lebih ribut dari pelaku. Apalagi penonton yang betul-betul sebagai paganna-ganna, pelengkap kekisruhan. Para followers. Sial bagi mereka kalau tidak kritis.

Teman saya adalah salah satunya. Dia betul-betul followers yang hanya bisa menonton. Tanpa jelas apakah yang dia dapat nikmati atau rasakan ketika apa yang dia bela telah sampai pada titik akhirnya. Lindap hasil survey cepat, mungkin tidak menurunkan degup jantungnya yang semakin memburu. Dia masih mengamati dengan seksama kedua layar itu.

Saya pun bertanya padanya apakah dia akan berhenti dan diam sejenak ketika Pilkada ini berakhir.

Dia langsung menjawab, "Tidak, ini adalah awal perjuangan."


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)