Merayakan Kebisingan (Catatan Thursday Noise Vol.10, 23 Februari 2017)


Gambar 1. Teenage Death Star menggasak panggung
Bagi beberapa mahzab di Islam, malam Jumat memiliki arti penting di dalam peribadatan. Sejumlah ibadah dilakukan di malam itu, sebut saja yasinan hingga yang terma "sunnah rasul" bagi yang sudah sah bersuami-istri.

Hal yang serupa dilakukan pada para indies, hipster, hingga penggemar deru bising ibukota. Perhelatan Thursday Noise adalah ritusnya.

Sejak beberapa tahun lalu di Makassar, saya udah mendengar ihwal kegiatan ini di salah satu linimasa band kesukaan saya, Morfem; juga seorang penulis lirik terkece di Indonesia, Jimi Multhazam.

Dan Jumat lalu, (23/2) saya mendapatkan kesempatan hadir di ibadah tersebut. Perhelatan yang kesepuluhnya.

Malam itu, jam menunjukkan pukul 11. Saat itu di salah satu beerhouse, cafe, atau apalah; Lost and Found di daerah Kemang, terlihat anak-anak muda nongkrong di depannya. Dari luar samar terdengar lagu "Jungkir Balik" milik Morfem. Ah, saya telat banyak di event ini. Sial! tempat praktek jauh dan antrian pasien penyebabnya.

Gambar 2. Lapakan CD dan merchandise di acara

Di lantai dua cafe tersebut, kita disambut oleh gerai merchandise dan rilisan fisik. Di hadapannya, sebuah ruangannya disulap menjadi arena moshpit. Meja dan kursi disingkirkan. Asap rokok dan bau bir meruap di ruangan. Cahaya yang paling terang adalah di panggung, seakan menjadi imam akan kegaduhan. Banyak yang melompat dan melakukan stage diving. Panggung seakan sangat egaliter untuk penonton yang ingin melompat atau memperdengarkan suara sumbangnya. Dan ternyata itu adalah lagu terakhir dari Morfem.
Gambar 3. Keramaian memadati pintu masuk gig

Saya pikir Morfem adalah penampil terakhir, ternyata saya salah. Teenage Death Star adalah band yang paling terakhir dan mungkin bintangnya di malam ini.

Ini pertama kali saya menyaksikan band ini, setelah sebelumnya pernah menggilai lagunya yang menjadi soundtrack film Janji Joni.

Alvin, sang gitaris naik. Dia meminta penonton memberinya pick gitar. Gitaris yang terlihat sudah tidak "teenage" lagi kemudian menceritakan ihwal ketidaksiapannya akan penampilan dia hari ini.

"Saya ditelepon, 'Woi nampil hari ini!', Anjing!" ucapnya.

Dan masuklah satu persatu personil mereka. Dan terlihat juga vokalis  Pure Saturday, Iyo yang menenteng bass Fender. Saat itu Alvin menanyakan sembari mencoba akor-akor di gitarnya,

"Main di mana?"

Entah itu disengaja atau tidak, pernyataan itu sempat membuat saya tergelak. Dia memperlihatkan gaya seakan baru belajar bermain gitar. Apa ini sesuai dengan tagline band ini, "Fuck Skill, Let's Rock!"? Wallahualam.

Saat lagu telah berbunyi, sang frontman, Acong alias Sir Dandy Harrington, naik ke panggung. Menggunakan kacamata hitam, berponi, dan kemeja berlengan panjang, mengingatkan akan sosok Ian Brown, dari The  Stone Roses atau Liam Gallagher dari Oasis.

Penontonpun turut menggila. Mereka naik ke atas panggung kemudian melompat untuk ditadah tangan-tangan. Yang lainnya bergoyang mengikuti musik punk klasik seperti Sex Pistols atau The Clash yang disajikan Teenage Death Star.

Untuk ukuran egaliter, Teenage Death Star tak kalah demokratisnya pada penonton. Salah satunya adalah saat lagu "All That Glitters Are Not Gold", Alvin seakan menyajikan kanvas yang diberikan penonton untuk melukisnya. Dia memberikan gitarnya untuk dipreteli oleh penonton. Hingga diapun berenang diatas penonton dengan gitarnya. Hasilnya, suara noise yang seakan memperindah plus memperkeruh malam ini.

Kekacauan tak berhenti di situ saja. Pada lagu-lagu selanjutnya beberapa penonton memanjat tiang yang merentang melintasi panggung. Mereka seakan monyet yang hendak diberikan pisang. Beberapa yang sudah tepar, terduduk di sudut cafe yang ada meja dan sofanya. Pandu Fuzztoni juga terlihat di atas panggung, menyanyi dan meledak kegirangan saat mikrofon diarahkan ke dekat mulutnya.

Teenage Death Star seakan tidak capai dalam membuat ruangan histeria dan penonton menggelinjang dengan mengulang lagu "I've Got Johnny In My Head" untuk kedua kalinya sebagai encore. Pecah!

Dan inilah panggung bising sederhana, yang mengukuhkan  eksistensinya tanpa lelah. Sebuah upaya untuk terus menggulirkan api semangat skena. Band Bandung ini menutup acara ini. Membubarkan kerumunan dan kenangan sederhana tak terlupakan. Juga menyiapkan diri untuk kebisingan sebenarnya di esok hari.

Gambar 4. Poster Thursday Noise

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)