Gagal Konsisten

Saya memiliki seorang teman, dia adalah orang yang sangat mengidolakan Ulil Abshar Abdala, seorang intelektual muslim pendiri Jaringan Islam Liberal. Baginya Ulil adalah sosok pembaharu keislaman yang gagasannya tentang kebebasan beragama sangat kuat.

Dia adalah pembaca filsafat dan buku sosial. Keterikatannya dengan dunia pesantren menjadikan dirinya serasa dekat dengan Ulil. 

Berinteraksi dengan lingkungan kampus menjadikannya seorang pembaca yang giat. Aplagi dia adalah seorang pemateri materi-materi pengkaderan yang menyentuh ranah filsafat Islam. Dengan itu ludeslah semua karya-karya Ulil dilahapnya. Salah satunya adalah tulisan magnum opus Ulil di Kompas tahun 2002, "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam".

Tulisan itu menjadi fondasinya  saat beraksi di panggung-panggung pelatihan. Dia terlihat pintar dengan itu, bahkan beberapa lawan debatnya tidak berkutik. Beberapa kali dia menjadi panel berbarengan dengan "lawan ideologi"-nya. Dia mampu mematahkan argumen-argumennya. Penguasaan ayat suci dan bahasa arab menjadikannya bertahta di mahligai intelektual kampus dulu.

Beberapa tahun berlalu dan kami telah meninggalkan kampus. Setahu saya ia masih setia dengan idolanya. Hal itu saya liat saat beberapa kali di me-retweet, ciutan Ulil di Twitter.

Selain itu dukungannya terhadap Ahok sebagai representasi kebebasan beragama dan kebenciannya terhadap FPI, sering ditonjolkan bahkan status-statusnya sangat nyinyir terhadap para orang-orang yang mengklaim diri pembela Islam.

Hingga suatu hari muncullah kasus status Ulil yang menyerang calon gubernur, Ahok. Di situ, Ulil menyerang lewat statusnya yang terkenal itu,

"Ahok is a BIG liability for our social fabric as a (still) fragile nation. We should get rid of him. Too dangerous"

Dan lebih mencengangkan ternyata tokoh JIL tersebut sebaris dengan rival abadinya, para puritan dalam mendukung calon gubernur, AHY.

Itu membuatnya jadi bulan-bulanan oleh rekan-rekan yang mengetahui ketertarikannya pada menantu Gus Mus itu.

Dan ketika saya tanya, 
"Kamu kecewa sama Ulil?"

Dia membalas dengan keheningan. Ternyata dia tidak bisa mengelak. Dan ini kali pertama saya liat diam tanpa membalas argumen. Saya menduga dia kecewa terhadap idolanya yang membuka matanya, namun di satu sisi bertentangan dengan kaidah ideologi yang dia ajarkan. 

Di situ saya belajar bahwa melihat seorang idola, dapat diketahui pada saat momen politik atau pilkada. Di momen itu dapat diketahui apakah idola itu berbulu domba atau tidak. Sekalipun saya belum bisa menghakimi apakah Ulil salah atau tidaknya di sini.

Ulil Abshar adalah orang yajg ingin berjuang di tengah ke dunia yang menolak ideal. Yang pasti di momen politik dapat menjadi alat pengukur dan konsistensi yang baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)