Kisah Para Pejuang Islam 212

Bela Islam menjadi terma baru yang menguat di akhir tahun 2016 ini. Seluruh antusias masyarakat khususnya yang beragama Islam terserap di momen "411" dan "212".

Hal ini dirasakan oleh saya, ketika menempuh perjalanan Jakarta-Kediri (4/12) menggunakan kereta api Majapahit. Sore itu sehabis hujan di penghujung senja Jakarta, utamanya di gerbong tempat saya duduk.

Bisa dibilang hampir di gerbong ini mayoritasnya adalah para mujahid 212 yang berencana pulang ke asal--umumnya dari Malang. Kunci utama mengidintefikasi mereka cukup jelas: bercelana cungkring, berjenggot, dan memakai atribut-atribut berembel-embelkan Islam entah itu dari pin plastik di dada mereka atau jaket.

Aksi tersebut masih menyisakan kegemilangan dari mereka, seumpama penaklukan Konstantinopel oleh Fetih atau perebutan Al Quds oleh Salahuddin Ayyubi. Beberapa dari mereka memamerkan foto hasil jepretan di momen tersebut. Salah satu dari mereka memutar lagu anthem "Aksi Bela Islam" dari gawai. Mengisi hampir seluruh gerbong membuat komunikasi mereka meletup-letup dan tak tertahankan. Saling bertanya kabar, dan lempar tanya-jawab seputar posisi mereka saat momen-momen penting di aksi tersebut seperti: "Antum di mana saat Jokowi datang?", "Saya duduk tepat di shaf belakang para amir." Mereka semua larut dalam euforia.

Sore telah berlalu, di tengah kereta yang melaju. Malam datang. Mereka berhanburan menuju toilet kereta yang beraroma bacin yang menyeruak. Mereka membentuk shaf dan salat di koridor gerbong. Pemandangan yang cukup jarang saya temui saat menumpangi lokomotif.
Gambar 1: Pejuang Islam yang shalat di koridor kereta

Beberapa jam berlalu, penumpang di hadapan saya menegur sembari menawarkan cemilan. Saya baru menyadari, lelaki paruh baya yang berambut keperakan itu adalah teman duduk-duduk saya di trotoar Pasar Senen, Wiyono namanya (67 tahun). Ternyata ia adalah seorang petani tebu dari sebuah desa di Jawa Timur. Meninggalkan dua orang anak dan istri, dia nekat bertandang ke ibukota dengan niat membela keyakinannya.

Dengan kebanggaan dia bercerita bagaimana doa-doanya saat salat fardu untuk diberikan kesempatan berjihad dapat terkabul. Dan sekarang, doa ayah yang mendalami Islam setelah terlilit rentenir itu terkabul. Ternyata Wiyono tidak sendiri, teman serombongan merekapun bervariasi: juru parkir,
supir ojek, buruh pelabuhan, guru, dan lainnya. Saya membayangkan bagaimana harus mengorbankan keluarga dan potongan upah harian mereka dengan adanya kejadian ini.

Saya harus mengakui bagaimana totalitas mereka dalam berjuang atas apa yang mereka yakini. mereka adalah orang yang dengan tulus mengabdikan diri untuk agama. Namun entahlah di level atas. Politis ataupun murni atas nama ideologis, mereka tetap berada dalam permainan, yang bisa jadi kita semua tak pernah mengerti. Kereta menembus gelap, seperti halnya kebahagiaan mereka yang seakan sudah melabrak kegelapan di negeri ini.

Gambar 2: Pejuang Islam yang berfoto di salah satu stasiun pemberhentian

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)