Sesudah Empat November, Apa Lagi?



Bisa dibilang saya cukup lelah melihat informasi yang berseliweran di media sosial saya seputaran hal ini. Ahok, Al-Maidah, hingga tetek bengeknya. 

Puncak keriuhan itu terjadi pada hari ini. (4/11) Seperti yang mungkin anda semua lihat di media, bagaimana lautan manusia terjadi di ibukota, mengatasnamakan agama yang saya juga anut--sayangnya saya memilih tidak reaktif dalam hal ini.

Demonstrasi telah bubar, massa telah pulang ke asal mereka, jalanan telah lenggang, lantas apa lagi?

Pertanyaan itu yang sering saya tanyakan pada teman-teman kuliah yang mengklaim diri mereka aktivis. Sebagai orang yang dibesarkan di daerah dan kampus 'merah membara' juga sempat juga merasakan beberapa momentum 'membara' sudah saya rasakan. Demo menjadi prioritas utama bagi teman-teman tersebut, beberapa teman bahkan mengabdikan hidupnya di jalan dan api pembakaran ban bekas. Dan salah satu perkara yang kadang tidak dapat terjelaskan adalah, "Apa yang kalian lakukan setelah demonstrasi?" Beberapa menjawab secara diplomatis, la'bu--alias besar mulut--dan memaksa, beberapa malah menuding saya antek-antek birokrat. 

Hmmm, mungkin inilah cerminan paradoks sebuah demokrasi: sedikit banal, sedikit alay. Suara serak dan habis, kepala memanas tak kunjung padam, bahkan aktivitas terbengkalai dan ditinggalkan.

Mungkin ada baiknya kita belajar dari pendahulu-pendahulu Reformasi dan Malari. Ya, sekencang apapun atau semasif apapun, kita tetap seekor domba di tengah pertarungan para tuan-tuan ternak. Sebongkah kayu di tengah gempuran badai di lautan. Siapakah dia? Mungkin anda saja yang mendefinisikannya.

Apa yang Gus Dur pernah bilang, "Tuhan tidak perlu dibela," mungkin ada benarnya. Apalagi buat orang-orang yang (mungkin) tidak suci-suci amat. Apakah kita (yang muslim) ini yakin bahwa kita tidak pernah meninggalkan Allah? Apakah kita (yang muslim) ini yakin bahwa kita tidak pernah melakukan perbuatan tercela dibandingkan apa yang diucpakan Ahok?
Apakah ini betul-betul jalan jihad? Apakah betul Tuhan menginginkan hal ini di singgasananya? Apakah setelah ini kemuliaan agama akan tesematkan?

Kalau untuk dalil penyetaraan hukum dan anti penistaan agama, kenapa tidak kita memperjuangkan hak beribadah rekan-rekan Kristen yang gerejanya disegel dan dilarang beribadah? Kenapa tidak kita berlaku adil kepada patung Buddha di Tanjung Balai? Atau mungkin berlaku adil terhadap saudara-saudara Islam lainnya, Ahmadiyah atau Syiah yang kerap tidak diperlakukan secara adil dan dinistakan. 

Terekam dalam sejarah, kehancuran agama disebabkan para penganutnya berpikir ekskulsif, korupsi, kemarukan kuasa, dan kemiskinan. 

Apapun itu saya ucapkan selamat. Sebagai seorang amatiran, saya harus mengakui bahwa teman-teman dan kanda-kanda sekalian telah menegakkan demokrasi dan menunjukkan aspirasi. Semoga saja  kiranya pertanyaan, "Setelah empat November, apa lagi?" Dapat terjawab. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)