Malu dan Kematian Petta
Dimuat di Go Cakrawala 24 September 2016
Dor! Selongsong peluru melesat ke kepala
Petta[1].
Ia tergeletak dengan lubang di pelipis yang menyemburkan darah. Badik itu
terlepas dari genggamannya. Aku kaget, Indo’ meraung-raung histeris. Ia menggoyang-goyangkannya,
memanggil-manggil, lalu mendekap tubunya. Isak tangis Indo’memenuhi kamar 301
ini.
“Petta... Petta..”
Kata itu berulang kali kuucap bersama tangis yang tak terbendung, Nyatanya
penyesalanmemang selalu terlambat. Aku menyesal atas kebodohanku, menyesal bukan
diriku saja yang terkapar mati. Sorotan mata penuh amarah kulayangkan pada Emir.
Di belakangnya kulihat Mela berteriak histeris. Spontan kuambil badik Petta. Aku
melompat dan ingin menghunus ke dadanya.
Emir panik,
segera saja kurapatkan dirinya ke tembok. Namun pistol itu lebih dulu beraksi
***
Sehabis
menamatkan kuliah, Petta tidak lelah-lelahnya menginginkan aku cepat menikah.
Padahal saat itu aku sedang menapaki panggung politik nasional saat diterima
sebagai staff ahli DPR. Sesuai nama pekerjaanku yang keren, atasanku juga tak
kalah keren. Si boss adalah politisi kawakan, pengusaha besar dan petinggi
partai.
Petta selalu
memaksakan aku dengan Andi[2]Mela,
anak semata wayang dari Andi Solong. Dia
keturunan dari keluarga berpengaruh di kampungku, ayahnya kepala daerah dengan
kekayaan yang tidak habis hingga tujuh turunan. Aku mengenal Mela sedari dulu
saat di kampung hingga di ibukota.
Sudah rahasia
umum bahwa Mela hidup mewah dan glamor. Istilah teman-teman, Mela itu piala
bergilir. Digilir oleh para pemenang yang sanggup membayar tarifnya per-jam,
per-hari, atau bisa jadi beberapa bulan hingga tahun. Entah apa motivasi anak
hartawan ini. Saya yakin segala kebutuhannya dapat terpenuhi dengan sekali
rengek kepada ayahnya.
Mela memang
menarik dengan pakaian serba minimnya. Setiap lelaki pasti menelan ludah atau
yang paling ekstrimnya berusaha mencari peluang mengintip kesemua belahannya
yang terekspos. Aku? Laki-laki siapa tidak suka melihat atau merasakan belahan?
Tapi untuk menjadikan pasangan hidup itu perkara lain. Menikah dan menindih
perempuan itu urusan berbeda, apalagi aku tahu boss sudah menikmatinya. Kutolak tawaran pernikahan Petta.
Amarahnya
meledak. Ia memang dikenal tempramen. Setelah kejadian itu, aku rela harus
dicueki oleh Petta, tanpa kiriman uang, untung saja aku memiliki gaji berlebih
dari kerjaanku, apalagi Boss senang memberikan bonus dan pekerjaan menjadi
pengawas proyek, dari pengadaan alat tulis hingga pembangunan jalan. Belum
termasuk wisata malam rutin bersama Boss. Pokoknya kerja dengannya: surga dunia.Di
situ aku belajar politik adalah kemakmuran, pantas saja Petta kecanduan. Hingga
suatu hari duniaku berputar balik.
Semua dimulai
saat Boss ketahuan melakukan penggelapan anggaran proyek pemerintah. Lembaga
pemerintah, non-pemerintah, aktivis, dan wartawan mulai menyoroti. Boss
kemudian ditangkap di rumahnya. Malang, aku terkena imbasnya. Para staff ahlinya
di-PHK, termasuk aku. Aku segembel-gembelnya setelah seluruh kekayaan pemberian
Boss disita oleh penyidik. Jalan
politikku seakan menukik ke akhir. Aku tidak memiliki pilihan lain selain
menikah, setidaknya itu bisa jadi alasan untuk menghindari malu pulang kampung
dengan kegagalan.
***
“Calon mempelai
dipersilahkan masuk pelaminan.”
Ucapan protokoleracara mappaci[3] ini
rasanya sebuah lelucon. Terlebih saat Indo’ mengusap daun pacci di telapak tanganku, dengan pelan dia berujar, “Semoga jadi
suami yang baik nak.” Suami? Suami Dengkul! Itu memang leluconyang suka
bermain-main dengan kebebasan orang lain. Di dekatku duduk seseorang yang kelak
kusebut sebagai Istri, Andi Mela. Petta adalah
anggota dewan yang ingin seperti Puang[4] Solong.
Pernikahan ini adalah pilihan Petta. Argumennya itu menjaga tradisi leluhur. Ah,
aku tahu itu bohong.Nafsu Petta memang meletup-letup untuk menjadi kepala
daerah di kampung halaman. Padahal ia telah menuai kegagalandi Pilkada
kemarin.
Kini suratan telah
menuliskan takdirnya, kita harus menurutinya. “Sah!”, ucap penghulu saat
prosesi Ijab Kabul, jadilah pernikahan itu. Di pelaminan itu aku melihat Petta
dengan kebahagiaannya. Aku hanya merasa geli saat penghulu menyuruh mencium
kening Mela. Aku mengumbar senyum seolah bahagia.
Beberapa bulan
telah berlalu, aku kini memperoleh aset-aset dari orang tua dan mertuaku. Aku dan Mela memilih hidup di Ibukota, tempat
perahu bernama rumah tangga ini terpaksa menerjang lautnya. Pernikahan ini menghasilkan kehidupan yang
soliter. Aku hanya berfokus dengan karir politik dan proyek, entahlah Mela. Aku
membiarkan dengan segala kehidupan sosialitanya. Masa bodoh.
Hari itu
tiba-tiba Petta dan Indo’ jauh-jauh dari kampung mendatangiku di kantor. Emosi Petta
tak terbendung, mukanya memerah tanda hipertensinya kumat. Dia memarahiku
dengan letupan tanpa ruang untuk kusela. Ternyata Petta’ mendapat cibiran di
kampung. Mereka mendengar Mela menjalin perselingkuhan dan tinggal dengan anak
lawan politik Petta’, Andi Emir, anak pertamaAndi Palatte.
“Di mana Siri’[5]mu,
Nak?” ujarnya.
Entah maksudnya Siri’ sebagai kepala keluarga besar atau
Siri’ sebagai politisi. Petta memberiku
badik[6],
menyuruhku untuk menghunuskannya. Malu bagi orang kampungku kadang bisa
berujung mati.
Petta memaksaku
menuju sebuah apartemen, yang menurut informannya tempat Mela bergumul dengan
Emir. Apartemen itu kukenal betul. Aku menolak dengan sopan paksaan Petta.
“Kalau tidak ada
yang mau, biar saya yang bunuh!” ancamnya.
Rasanya tidak
ada pilihan lain selain mengikutinya untuk menghalangi hal lebih buruk untuk
terjadi.Aku selalu takut ini bakal terjadi. Beberapa kali kuhubungi Mela untuk
meninggalkan apartemen tapi nyatanya ponselnya tidak aktif. Indo’ berusaha
menenangkan Petta untuk menyelesaikan baik-baik, tapi sepertinya percuma. Kami
bertiga melaju ke apartemen itu. Saat di depan pintu kamar 301, Petta
mengetuk-ngetuk pintu. Beberapa kali ketukan pintu tidak mendapat respon. Badik
di genggamannya sudah terlepas dari
sarungnya, tanda darah harus mengaliri. Petta mendobrak pintu dengan dua kali
tendangan keras.
Emir ternyata
beberapa langkah saja dari pintu itu. Petta mendorongnya dan memaki. Keributan
terjadi, teriakan Indo’ dan Mela memecah. Aku dan Indo’ berusaha menghindari korban.
Mela terlihat ketakutan di sudut pintu. Tanpa kusadari, Emir telah memegang
pistol dan moncongnya menunjuk Petta.
***
Di hadapanku
duduk Mela dan Emir. Sengaja kupilih di apartemen 301 ini, karena besok malam aku dan Mela akan
melaksanakan mapacci. Mela
menyelipkan rokok di bibirnya. Ia memeluk dan duduk dipangkuan Emir, sesekali
bibir mereka berpagutan. Entah apa maksudnya menunjukkan itu di hadapanku. Aku
tidak percaya mereka ternyata menjalin hubungan. Heran saja Emir mau-maunya
jadi pemegang piala rongsokan ini.
Semua sudah
berjalan. Undangan sudah beredar, tidak mungkin lagi dibatalkan. Aku sengaja
ingin berbicara dengan Mela akan hal ini. Aku tahu dia sama denganku: tidak
saling mencintai. Tapi aku memiliki
kebutuhan akan pernikahan itu.
“Fine, jadi akting nih ceritanya?” ucap Mela.
Dari dialek, perkataannya,
hingga sikap, aku semakin yakin dia sudah bukan orang kampung. Kepulan asap
keluar dari mulutnya.
“Ya, anggap saja
kita berkeluarga. Kau bebas berbuat apa saja bahkan boleh tinggal bersamanya di
sini,” balasku sembari menunjuk Emir.
Mela
menghembuskan asap rokoknya lagi ke udara. Ia tersenyum kecil, begitupun Emir.
“Jadi berapa
bagi-baginya?” tanya Emir. Dasar laki-laki tidak tahu diri, keluarga Andi pula.Tidak
punya malu. Sejak kapan seorang laki-laki memeras seorang lelaki lain yang
calon istrinya sudah ia tiduri? Sudahlah, terkadang memang manusia harus membuang
nilai. Kami bertiga sama saja.
“Apa maumu?”balasku
“Sejumlah
nominal buat rekening bro. Saya tahu
akal-akalanmu,” jawab Emir.
”Saya tau ji. Ini bakal jadi sensasi politik tahun
ini, kalau bocor.”
Kurang Ajar.
Emir mengucapkan itu seakan tidak ada beban. Tapi bagaimana lagi.Aku tidak
punya pilihan. Biarlah, lagipula aku juga bisa menikmati perempuan lain di luar
sana.
Setelah semua rencana
sandiwara itu tersampaikan ke Mela dan Emir, kami semua bersepakat dan
menyimpan malu di pernikahanku dan Mela.
Jakarta, 2016
[1]Petta berarti Ayah, Indo’ berarti Ibu
[2] Gelar
kebangsawanan masyarakat Bugis.
[3]Mapacci
adalah salah satu bagian dari pernikahan Bugis. Bisa dibaca Christian Pelras, Manusia Bugis atau Susan B. Millar, Perkawinan Bugis.
[4]
Panggilan penghormatan dalam hubungan kerabat dan kekeluargaan masyarakat Bugis
[5]Siri’ secara terminologi berarti malu.
Konsep ini mengacu pada perasaan malu dan harga diri, menentukan identitas
orang Bugis-Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya.
[6] Pisau
khas Bugis-Makassar
Komentar
Posting Komentar