Gusdurian Menolak Tua



"Usia boleh menua tapi tidak dengan semangat!"

Kira-kira begitulah kalimat penuh energi yang meluncur dari mulut Aan Anshori, seorang aktivis kemanusiaan cum Koordinator Gusdurian Jawa Timur. Berambut kemerahan dan bercelana pendek dan juga turut hadir seorang feminis (ibukota), Nadya di situ.

Di sekeliling kami duduk para lelaki bersarung dan berpeci, di kafe tempat kami kongkow-kongkow, bacaan Surat Al-Kahfi terlantun dan melatari diskusi. Ya, kami berada di salah satu kawasan santri terlawas se-Indonesia, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Ba'da Magrib itu (17/11), Nadya dan Gus Aan (sapaan Aan Anshori) seakan menjadi sentrum serupa magnet yang menyerap partikel logam di sekitarnya. Terlebih ketika berbicara soal seksualitas dan kaum minoritas. Saya? Ya saya cuma menjadi pendengar yang baik mi saja. 

Selain berbicara pergulatan dan pengalaman menangani kelompok-kelompok termarjinalkan dan minoritas, Gus Aan juga bercerita mengenai sebuah kartu, yang menjadikannya menyala-nyala dalam membela apa keyakinannya, Kartu yang ditanda tangani oleh ketua PB NU--sayangnya saya lupa yang mana.  

Dia bercerita bagaimana kartu itu menjadi tumpuan nyali saat beberapa orang NU menghardiknya dengan segala aktivitas advokasi LGBT. Dengan posisi NU yang cenderung main aman, nyatanya dia mampu sedikit fleksibel dalam berbuat "nakal" tanpa harus dijewer oleh para senior-seniornya. Bisa jadi disebabkan dia berlatar belakang mantan santri.

Bayangkan saja, ketika mencangkung di toilet, dia mampu membuan banyak rilis dan statemen yang dibuat serta dikirim via gawainya. Nyatanya, itulah jalan yang membuatnya dapat masuk ILC dan pelbagai media nasional. Lagi-lagi itu memang membutuhkan keberanian--sekali lagi dengan modal awal sebuah kartu. Tidak semua orang memiliki keberanian itu, setahu saya cuma Gus Dur saja.

Namun keberanian itu bukannya tidak memakan korban. "Saya ini korban sindrom 'abraham' lho," ujarnya. Sindrom Abraham ini merujuk pada apa yang terjadi sama Ibrahim yang kemudian dengan derai tangis harus menyembelih anaknya, Ismail. Hal itu kemudian berimbas pada cibiran di teman kantor istrinya atau kawan sekolah anaknya.

Pada intinya, saya memang harus salut pada orang yang sudah berkeluarga sebagai tanggungan, yang tawadhu mengabdikan diri hingga ke level grass root. Ya, ini adalah pilihan hidup, pilihan yang hanya dipilih oleh orang-orang berani dan bernyali.

Waktu menunjukkan jam delapan, sudah tidak terasa hampir dua jam kami jadi bahan sorotan di situ. Kami mengakhiri dengan menziarahi salah satu paling bernyali Indonesia, Gus Dur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)