(TERIMA KASIH SANG PEMBAPTIS) #Great3rdCOMPETITIONFEUNJ

Seingatku banyak cara untuk menancapkan belati ke dada. Dapat ditusuk secara acak berkali-kali, bisa juga ditancapkan dan didorong hingga nyerinya tanpa ampun. Bisa juga membelah dadanya, kuambil organnya terpisah. Jantungnya akan kumakan mentah-mentah. Nikmat.

Prosedur itu hadir tanpa diundang beriringan dengan dendam tak terbendung. Di dalam kantong celanaku bersembunyi belati. Ingin segara kusarangkan di dadanya, hingga ia menyesal menolakku.

“Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?” sapa sopan resepsionis cantik itu.
“Pak Buhary.” Ah, aku benci betul menyebut namanya, Buhary, Sang Tuhan. Sang Pembaptis, juru selamat para sastrawan wanna be.

‘Sudah janjian sebelumnya, Pak?” Aku membalas mengangguk. Kemudian si resepsionis mengarahkan ke lantai lima, kantor redaksinya.

Kata orang penulis sudah mati. Alih-alih ditangan pembaca, dia dibunuh oleh kuasa, kuasa dari editor. Dia adalah tuhan yang berhak menghidupkan dan membunuh karyamu. Apalagi koran tempat Buhary bekerja adalah salah satu media penting di dunia persilatan sastra, yang tiap hari minggu ‘membaiat’ penyair lewat puisi dan cerpen yang terpilih dan terbit. Ya, itulah jalan yang membuat tapak kesusesteraan semua yang bermimpi menjadi penyair atau penulis. Aku adalah salah satu pemimpi itu. Bosan rasanya dianggap sebagai penyair kacangan atau amatiran.

Aku “dibunuh” oleh tuhan Buhary, editor tua bangka dengan topi pet seperti gaya sok estetik–nyatanya dia memang seniman. Sudah dua puluh kali menolak karyaku. Sudah beberapa kali aku mengirim ke redaksinya tanpa balas. Berminggu, berbulan, bertahun semua sudah kulalui. Semua jenis model kepenulisan puisi sudah kulalui dari realis hingga surealis, dari strukturalis hingga absurdis. Kulahap semua sari pati sajak Byron sampai Lang Leav, dari Chairil Anwar hingga Aan Mansyur. Sudah banyak sastrawan tersohor tempatku berguru. Nyatanya tetap saja ditolak. Yang paling menyedihkan adalah yang dimuat di majalah mingguan itu adalah karya yang tidak lebih baik dari karyaku. Mungkin kiriman surelku dia delete tanpa membaca.

Cuih! Saatnya menggulingkan tuhan! Tuhan yang semena-mena menentukan takdir. Tuhan yang pantas digulingkan. Tuhan yang pantas untuk dibunuh. Aku meraba belati dalam kantongku.

Di dalam lift, aku melihat cermin yang mengitari kotak ini, pantulan wajahku adalah wajahnya! Aku masih mengingat sketsanya dengan jelas, mengetahui suara paraunya. Hingga tawa mengejeknya yang pernah ditorehkannya padaku. Aku selalu ingat relif wajahnya, brewoknya–meski tanpa topi petnya.  Dia tertawa, memancing api yang siap membakar. Aku terbakar. Tinjuku mengayun tepat di cermin yang mengejekku. Orang di sekitar histeris dan panik, mereka ketakutan melihatku. Aku menyisir seluruh cermin di lift ini. Ya, aku ingin melenyapkannya wajahnya dari muka bumi. Aku ingin dia mati. Nyatanya seorang dari mereka telah menekan alarm lift. Sial! Kuseka pecahan kaca yang menancap di kepalanku. Seorang perempuan meringkuk dalam ketakutan di samping dan laki-laki satunya lah yang menekan alarm. Aha, Ternyata dia adalah Buhary. Wajah itu pucat pasi meminta ampun. Ku ambil belati di kantong celanaku, dengan cepat melesat menuju dadanya.

“Permisi,” tegur perempuan yang di belakangku. Aku tersadar dari lamunanku. Lift berada di lantai lima. Laki-laki–yang nyatanya lebih tampan dan klimis dari editor sok ganteng itu–dan perempuan itu keluar dari lift. Nyatanya di lift ini tidak terjadi apa-apa. Tidak ada kaca yang pecah, tidak ada histeris, juga ruas jari yang lecet. Aku ikut keluar dari kotak itu.

Di kantor redaksi, mataku jalang mencari.  Di mana dia bersembunyi? Yang kulihat hanya segelintir manusia yang sibuk sendiri. Di depan komputer, beberapa wartawan hilir-mudik masuk ruangan ini, ada yang mengambil air di dispenser, dua orangnya di meja besar terlihat sibuk dengan memberi tanda dengan spidol beberapa koran. Nihil. Mungkin dia tahu kedatanganku dan takut. Mungkin dia bersembunyi di bawah meja, berpura-pura buang hajat di toilet, atau mungkin telah lari terbirit-birit. Huh, tuhan yang ini ternyata pengecut.
“Mau cari siapa, Mas?” tegur seorang laki-laki klimis dan rupawan. Lelaki itu yang tadi bersamaku di dalam lift. Id card-nya menunjukkan kalau dia adalah orang penting di sini: Wakil Pimpinan Redaksi.   

“S-saya,” jawabku sedikit terkejut, “janjian dengan Pak Buhary.”
“Silahkan anda menunggu di sana,” balasnya sambil menunjuk sebuah ruangan.
Ruangan itu tertata rapi, beberapa piagam dan foto para pejabat dan tokoh lokal juga nasional saat kunjungan ke tempat ini nampak. Di satu dindingnya menampilkan sebuah bingkai berisi edisi pertama koran legendaris ini. Di tengahnya terdapat meja kaca dikelilingi oleh kursi. Di salah satu mejanya terhampar seeksemplar koran minggu media itu. Ya, hari ini memang hari minggu, entah siapa lagi yang dimuliakan oleh tua bangka itu. Bisa jadi orang beruntung itu para berhalanya, yang sibuk memuja atau menjilat bokongnya. Sayangnya, Aku bukan orang seperti itu.

Mungkin karena itu kiriman surel pemuatan dari dia tak kunjung menghampiri. Seorang teman yang karyanya sering naik–dia rajin memuji atau meresensi karya Pak Tua itu di blog pribadinya–berujar bahwa sebelum karyanya naik seminggu atau sebulan sebelumnya sudah dikabari olehnya. Mungkin saja untuk membaca karyaku dia sudah malas, boro-boro dibalas. Mimpi. Aku juga lelah dengan cerita buruk dari kawan-kawanku tentang keberpihakan Tua Bangka itu. Percuma saja membuka koran hari ini, bikin hati membiru sakit didera jutaan sembilu. Menatap sampulnya saja adalah menelan pilu. Akan kuberitahu padanya sakit itu dalam beberapa hujaman.

“Halo, Nak.” Seseorang masuk mendorong pintu cepat. Sosok itu, suara itu. Buhary. Dia tidak takut ternyata.

“Bagaimana kabar pujangga amatir?” Sontak perkataan itu memantik amarahku menaiki ubun-ubun. Aku memasukkan tanganku di dalam kantong celana, meraba belati yang tersarung.

“Kenapa menemuiku?” Seringainya semakin menunjukkan keriput di sudut mata dan bibirnya.

“Tidak ada yang bagus dari puisimu. Meliahtnya saja aku jijik,” ujarnya dengan tatapan menelanjangi kebodohanku.

Wajahku memerah. Pisau itu keluar dari kantong dan sarungnya, ujung tajamnya siap menerjang. Dia kaget, tak siap. Saatnya aku menentukan takdir kepenyairanku dengan membunuh tuhan di hadapanku. Aku melompat ke arahnya. Dia menahan tanganku dan mendorongku. Sayang, kekuatannya sudah padam bersama masa mudanya. Tikaman pertama pada perutnya, darah mengucur. Membuat bajunya memerah. Dia mendorong. Masih kuat juga dia. Dia berusaha lari. “T-to-olong... T-to-olong..” teriaknya dengan sisa-sisa nyawanya. Belum sempat dia berkata lagi, pisau itu sudah bersarang di lambang kedigdayaannya: topi pet. Ujungnya masuk dari puncaknya, menghujam tengkorak dan otak. Darah menyembur, aku kegirangan. Selesai sudah.

“Hei!” seseorang mengagetkanku, lamunan itu pergi lagi. Ternyata Buhary. Dia melihat apa yang kuperhatikan dari tadi.

“Kau ke sini hari ini karena ingin menerima selamat dariku bukan?” tanyanya dengan senyum. Aku hanya diam. Dia melanjutkan, “Sudah membaca puisi yang dimuat hari ini?”.

Apa maksudnya? Mengejekku? Mataku tajam menatap matanya. Aku bersiap dengan belati di kantong, siap menerjang. Dia membalik-balik halaman koran di meja. Hingga sebuah halaman yang familiar di mataku, halaman sastra. Di bawahnya terangkai aksara yang kukenal betul, setiap detil hingga bentuk baitnya. Itu puisiku! Aku tidak percaya, kuusap-usap mataku, berusaha melepas fantasi yang bertengger di pandangan. Betul, itu karyaku, dan namaku tercatut di situ.   

“Aku tidak percaya kau menciptakan puisi sehidup ini. Ini adalah magis. Bernyawa. Ternyata menolak sebuah karya menjadikanmu lebih tajam mengolah kata-kata,” ucapnya penuh kekaguman. Aku hanya bisa diam melongo.

“Oh iya, maaf tidak sempat mengirimkan surel pemuatannya,” dia melanjutkan “sebulan ini saya cukup sibuk soalnya.”

“B-betulan...?” balasku heran

“Emang aku kelihatan berbohong apa?” lanjutnya, ”Anak Muda, tugas kami dan media ini adalah menemukan orang-orang berbakat seperti kamu, hancurlah sastra kita kalau aku seperti cibiran-cibiran di luar sana.”

Masih silau akan kenyataan ini, tanganku menjadi lemas, deru amarah berganti keanehan rasa tidak percaya. Genggamanku melepas belati di kantong. Buhary menepuk pundakku. Kulihat puisi dan namanya berkali-kali sembari mengedip-ngedipkan mata lagi dengan niat segala tipuan dapat tersibak. Nyata. Benar, itu adalah aku dan buah pikirku.
“Selamat, Nak. Selamat sastrawan muda dan berbakat.”

Aku bingung harus berkata apa, aku masih terheran campur senang dengan apa yang terjadi. Aku keluar dari ruang tunggu, merasa malu pada keseluruhan prasangka yang hampir berdarah ini. Heran, begitu mudah aku percaya pada omongan yang belum tentu kebenarannya.


Di ruang redaksi, seluruh mata tertuju padaku. Mereka berpaku, hingga Buhary bertepuk tangan, sontak seluruh isi kantor riuh dengan tepuk tangan, selayak seorang bintang pop sehabis pertunjukkan. Beberapa diantara redaksi mendekat dan memberi selamat dan pujian. Ternyata aku sudah ditunggu-tunggu oleh mereka, seorang sastrawan yang baru dibaptis di Hari Minggu ini. Aku Masih tidak percaya, tidak percaya. Satu hal yang masih sulit kuterima: Buhary dan medianya adalah pahlawanku.    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)