Kecewa oleh Sejawat

Melanjutkan dari tulisan saya yang sebelumnya mengenai es krim, akhirnya saya memutuskan untuk memeriksakan gigi saya di klinik terdekat tempat inap. Iseng-iseng saya pun mencoba menjajaki kota Kediri.

Dengan jarak tempuh sekitar 30 menitan, sampailah saya di salah satu rumah sakit yang menyajikan pelayanan perawatan gigi. Sebenarnya dengan status saya sebagai rekan sejawat, pelayanan prima dapat diberikan. Apalagi dalam salah satu sumpah dokter terdapat pasal, "Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan."

Tapi sumpah memang sumpah, hanya seremonial sewaktu dan hilang digulung waktu. Dari awal memang tiada niat saya untuk mengumbar identitas saya sebagai rekanan sejawat, namun perlakuan dokter tersebut bisa dibilang inhumanity. Bayangkan saja, saya didudukkan di dental unit, dengan maskernya yang terpasang dan handscoon (kaos tangan) berlapis, seakan penderita penyakit menular berbahaya yang siap mentransmisikan ke tubuhnya.

Tanpa tanya nama dan sedikit berbasa-basi, dia hendak mengerjakan gigi saya tanpa menanyakan persetujuan pasien--pelanggaran kode etik memberikan informed consent dan pilihan-- terhadap segala tindak-tanduk dokter. Sebelum membenamkan burnya di mulut, saya kemudian memunculkan parade-parade pengetahuan kedokteran gigi. Mulai dari proses kerja hingga berbagai bahan-bahan. Lagi-lagi sayang sekali, seharusnya dengan mengucapkan itu, seorang dokter harusnya mengerti bahwa yang dihadapinya adalah orang yang tau dan bisa saja menuntut akan hasil kerjanya, tapi saya tidak mendapatkan itu. Yang ada hanya proses cepat tanpa koreksi akan kesalahan di atas. Setelah penambalan, harusnya juga seorang dokter memberikan instruksi pasca operasi, untuk memaksimalkan perawatan, lagi-lagi tidak ada. Untung saja saat itu saya sedang tidak ingin banyak bicara. Untung juga perawatan dan tambalan yang dipilih dokter itu lumayan tepat. Untung juga ini hanya perawatan gigi yang tidak parah-parah amat. Untuk meminimalisir kekecawaan saya berusaha berpositif thinking: mungkin dia sedang lelah.

Sebenarnya saya malas menuliskan tulisan ini, kalau-kalau kelak memunculkan polemik seperti kasus Prita. Lebih dari itu saya menuliskan ini agar saya terhindar dari perlakuan seperti itu, seburuk dan setinggi apapun pasien, dia adalah manusia yang harus dihargai seperti diri kita juga ingin diperlakukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)