Kopi dan Kamu



Aku tidak suka kopi. Kopi itu pahit, kadang hambar. Dia bisa menyebabkan maag. Apalagi kafeinnya, memaksa detak jantung berburu, berbahaya untuk jantung. Baunya juga tdk seharum melati atau germanium. Kopi itu bisa menjadi aksesoris pada gigi yang buruk, hitam menempel. Aku juga memiliki trauma dengannya. Pernah suatu waktu, senior kampusku memaksa menyesapnya. Jadilah aku tak bisa tidur dalam sehari.

Di warkop itu kau mengajakku menikmatinya lagi. Entah mengapa kau menyukainya. Pengetahuanmu akan kopi seperti kamus. Kau mengajariku mengenai pelbagai istilah dan peralatan menyajikannya. Kedai-kedai yang sudah kau jajaki, kau ceritakan segala tetek-bengeknya. Ah, kau terlihat cantik saat menjelaskannya.Bibirmu terlihat seksi yang menyentuh gelas itu, apalagi saat butirannya menempel di sudut bibirmu. Tapi tetap saja aku tak menyukai minuman hitam itu.

Sudah beberapa jam namun segelas kecil espresso itu belum kusentuh. Aku tidak enak menceritakan padamu perihal ketidaksukaan itu. Hingga kemudian menceritakan pengalaman hidupmu yang getir, masa lalu segelap kopi tubruk. Aku mendengar dengan teriris, tak satupun aksara yang bisa mengobati. Berbeda denganmu, tiada sakit kulihat gestur dan rautmu saat bercerita.

"Kopi itu mengajarkan kita untuk memahami, memahami pahit dan getir lewat lidah," ucapmu sembari tersenyum.

Aku suka itu, kejujuran dan belajar memahami. Minuman itu menyesap di mulutku. Kupaksa masuk melewati kerongkonganku. Akhirnya aku belajar menyukainya. Seperti belajar menyukai hidup yang tak semanis sakarin, utamanya belajar memahamimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)