Tiga Kejut Klinik Tiga Dental



"Hey, lagi di Jakarta? Mampirlah ke tempatku." Kira-kira begitulah bunyi pembicaraan singkat di telepon seorang kawan kecil dulu. Kawan yang menjadi bagian penting dari tumbuh dewasa saya.

Mampirlah saya ke kosan yang terletak di sebuah gang dekat komunitas sastra kanonik Indonesia.

Kejutan pertama saya, adalah saat pertama membuka pintu kosannya. Foto pernikahan langsung terpampang! Saya tidak percaya dia sudah memiliki bini dan anak. Entah sejak kapan dia menikah. Komunikasi yang intens dengannya di media sosial, tak pernah sekalipun menyebutkan soal pernikahan, apalagi mengajak saya ke pestanya. "Acara nikah memang serba dadakan, sedikit ji yang saya undang," akunya saat kutanya alasannya tidak mengundang.

Kami bercerita banyak tentang masa lalu. Masa saat SD, saat dia melompati punggungku saat istirahat sekolah. Saya yang berukuran lebih kecil dan tipis tak mampu menahan bebannya. Dia terjatuh, gigi depannya pertama mendarat. Patah. Gigi seri kanan pertamanya cippe' alias terpotong di sudutnya. "Ternyata saya dan kau jadi dokter gigi," kelakarnya.

 Pernyataan itu diikuti tawa lepas kami. Cerita lalu mengalir saat kami di bangku SMP. Saat itu saya bersamanya terlibat dalam satu band. Kami sering nampil di beberapa pagelaran atau acara sekolah. Hingga akhir SMP, kami semua terpisah. Beberapa perihal pubertas kami dapati di situ. Tawa itu lepas.

Pembicaraan lepas itu kemudian menuju kisah hidup rekan saya ini. Dia menceritakan bagaimana kemandiriannya, terlebih saat himpitan ekonomi terasa di keluarganya. Dua rumahnya yang dulu menjadi tongkrongan saya ternyata sudah dijual, karena lilitan itu. Saat itulah dia belajar bekerja, merintis usaha dari nol besar. Saya takut melanjutkan bagian ini, karena bakal seperti kisah Mario Teguh.

Yang paling menarik adalah, dia tidak melupakan musik, sesuatu yang kami mulai dari kecil--Setelah SMP, semua teman-teman band kami sudah "gantung alat", tinggal kami berdualah yang masih bermain musik--di sela kesibukan kerja dan kepala rumah tangga, dia masih menyempatkan untuk nampil dan rekaman. Sesuatu yang berani dilakukan oleh seorang dokter dengan jam kerja di klinik. "Memangnya kamu kerja di mana?" tanyaku penasaran.

Dia tersenyum dan menunjukkan dalam pencarian google, klinik bernama Klinik Tiga Dental. Ia menyatakan bahwa klinik itu adalah rintisan usahanya. Panjang-lebar dia bercerita mengenai klinik tersebut, hingga waktu imsak mengakhirinya. Saat membuka pintu depan mengantar kepulanganku, ia mengatakan, "Mampir-mampirlah besok ke klinik, nanti kukasih alamatnya."

Besoknya saya mampir ke tempat yang dituju,
Awalnya saya tidak percaya akan papan nama di atas. Klinik itu terletak di kawasan niaga selatan Jakarta, penampakan luarnya lumayan lux. Di dalam kliniknya, dua dental unit tersedia, beberapa alat dan bahan baru membuatku kikuk. Kelebihan klinik ini utamanya pada sistem onlinenya, baik dalam mengatur janji perawatan dan status pasien. Beberapa artis FTV dan model ditunjukkannya sebagai pasien veneer atau ortho.

"I am the owner of the clinic,"
katanya sambil tersenyum. Sulit mempercayai sebuah klinik, mempekerjakan dokter-dokter senior dimiliki dan dinahkodai oleh seorang anak muda yang berusia 28 tahun. Tapi ya, mungkin begitulah ibukota, memacu kreativitas jika tidak tenggelam mati.

"Berapa penghasilan klinik ini sebulan?" tanyaku penasaran. Dia kemudian menyebutkan angka, yang membuatku terkejut, mungkin bagi seorang pengusaha tulen itu biasa, tapi buat seorang yang juga berprofesi sebagai musisi itu kejutan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)