Record Store Day: Antara Kapitalisme dan Penyelamatan Musik

Suasana gang lapakan di Record Store Day, Pasar Santa, Jakarta

Ojek saya berhenti tepat di depan tangga masuk Pasar Santa. Di beberapa anak tangga duduk orang-orang berpakaian hitam hingga polesan warna psychedelic, dengan berbagai sablonan dari Black Sabbath hingga Arcade Fire. Dari Fariz RM sampai Seringai.

Jika dari luar tampakan pasar grosiran terlihat, sangat besa tampaknya saat melaju ke lantai dua. Dengan jelas panggung terlihat di samping saat berada di lantai dua, sisi depan berhadapan dengan sajian kuliner. Sisi lainnya nampak banyak lapak yang paling pusat perhatian perhelatan acara para orang yang kadang disebut "hipster". Inilah acara Record Store Day di Jakarta, yang sempat saya sambangi kemarin (16/4).

Salah satu gerai menyajikan cakram padat dan piringan hitam

Para urban ini bertarung dengan hasrat mereka untuk memilih "jajanan rock", memilih tumpukan vinyl, kaset, ataupun CD di dalam lapakan yang berjejer. Tumpukan itu membuat kepala mereka memanas, mengalahkan panas hasrat berpogo atau headbang oleh sajian southern-rock dan hardcore The Corals yang sedang perform di panggung.

Sayapun merasa demikian, harus menelan ludah melihat rilisan-rilisan yang sangat saya inginkan berada di rak cd saya. Saya cuma tersenyum kecut saat tidak sanggup membeli CD Pink Floyd-The Wall.Saya cuma bisa menganga CD The Best of Herbie Hancock dimiliki oleh orang lain. Ah... saya cukup sial di acara yang menguras dompet, namun sayangnya saya harus mengatur dompet saya biar tidak defisit di perantauan singkat ini. Saya iri dengan berbagai pengunjung di tempat ini. Saya yakin pula teman saya, Achmad Nirwan dan Muthia Wendha, kolektor vynil dan rilisan fisik akan kesulitan memilih daftar belanjaan rocknya atau mungkin pula berpuasa.

Salah satu lapak kecil rilisan dengan potongan harga

Sejak mengenal perhelatan Record Store Day di Makassar setahun silam, sebenarnya ada secercah harapan untuk skena musik di kota tersebut yang masih prematur dalam hal rilis-merilis. Kegiatan ini memacu semangat para musisi lokal untuk berani berkarya dan mengarsipkan karya mereka. Terlebih rilisan masih terbilang hal baru di skena tersebut. Namun ada bias yang terjadi ketika mengunjungi Record Store Day di ibukota ini.

Mereka sekiranya tidak sulit mengeluarkan sejuta untuk mengoleksi piringan hitam. Bahkan salah seorang lelaki paruh baya membawa kardus yang di dalamnya mungkin berisi sekitar dua puluhan piringan hitam. Di sela acara juga diadakan lelang perangkat audio yang berharga jutaan. Ada juga di samping saya, dengan gagahnya bercerita dengan temannya, bahwa dirinya telah menghabiskan sekitar lima jutaan di malam itu. Kegiatan tersebut terkesan lebih mengedepankan konsumerisme yang gagah-gagahan. Apalagi acara tersebut disponsori oleh perusahaan pemutar vynil dari Inggris. Jujur saja, sampai hari ini saya masih mempertanyakan nilai vinyl, apakah itu menjadi kemajuan, atau cuma sekedar kapitalisme budaya-atau mungkin juga sebuah bentuk keiri hatian karena ketidakmampuan mengakses fasilitas tersebut.  

Bentuk kerjasama produk pemutar vinyl dengan Record Store Day

Saya merasa bersalah mencintai sesuatu yang nyatanya telah berkomodifikasi akan sesuatu yang terkesan kapitalistik. Saya merasa tidak mampu menilai adiluhung seni yang merakyat. Saya adalah seorang pendukung rilisan fisik dan merchandise band Indie dan lokal. Namun bukan berarti itu menjadi sebuah alasan saya menerima ketika untuk menikmati musik saya harus memiliki uang jutaan rupiah untuk menikmati musik sajian musik yang bagus. Padahal nyatanya nada dan musik diciptakan agar kita dapat menikmati dan menjadikan diri kita lebih baik.

Lebih dari itu satu hal yang paling diapreasiasi adalah semangat menghargai musisi lokal, sepertinya hal itu yang masih belum dipunyai oleh Makassar. Di sini saya melihat beberapa orang berani membeli T-shirt band indie bekas yang harganya masih sama seperti baru dan utamanya membeli rilisan para musisi. Soundmen yang seringkali menjadi "kurang adil" dan tak acuh terhadap musisi lokal, tidak nampak di pagelaran ini, para musisi tersebut sangat dihargai kebutuhan monitor dan dimaksimalkan keluarannya. Para musisinyapun harus diakui bagaimana keberanian mereka dalam menciptakan gimmick dalam pemasaran musik mereka, bahkan setiap penampil nyatanya minimal telah memiliki EP. Totalitas mereka dalam penampilan, sekalipun panggung kecil.

Saya pulang dengan tersenyum sekalipun kantong kering di transpotasi dan sedikit jajanan rock lokal. Setidaknya ada hiburan kecil dan refrensi di tengah hiruk-pikuk ibukota yang menggila.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)