Ibu Tua dan Kejam Ibukota

Benar kata orang, Ibukota memang lebih jahat dari ibu tiri. Di sini kekejaman itu mengiris hati di sela-sela kerlip dan kemewahan yang dijajakan. Salah satu yang saya lihat yaitu di sebuah jalan besar tepat di dekat Bundaran HI.

Jangan tanyakan apa yang ada di sekitar sini, gedung-gedung tinggi menggapai langit, di bawahnya jejeran SUV atau mobil berkelas lainnya menerabas aspal, berburu cepat dengan motor dan mobil tua yang mesinnya merengek kelelahan. Inilah yang mungkin patung di puncak keagungannya ucapkan "Selamat Datang!"

Bisa dibilang saya masih kikuk dengan kota ini, kesasar adalah implikasinya. Seorang ibu tua di trotoar, dengan pakaian lusuh. Badannya kecil dan kurus seakan tidak makan berhari. Saat itu terpikir oleh saya dapat keluar dari sesat liukan nan bercabang jalanan penuh pria berseragam.

Entah apa dipikiran saya pada saat itu sehingga saya bertanya pada ibu tersebut arah dan tujuan-padahal sebenarnya masih banyak orang yang bisa ditanyai di situ. Hebatnya ibu tersebut sepertinya mengetahui arah tujuan saya. Ia menjelaskan dengan detail dan sepertinya dapat dipercaya.

Saya sangat sadar, bahwa ada perasaan lain di dalam benak selain keinginan untuk mencapai tujuan. Ada rasa kasihan kepada ibu tersebut. Tanpa berpikir panjang langsung saja saya keluarkan selembar uang dua puluh ribuan, untuk diserahkan padanya. Mengejutkan dia menolak untuk diberi selebaran tersebut. "Saya bukan pengemis dek!" bentaknya. Saya terkejut dengan ujaran tersebut. Namun saya tidak beranjak dari tempat tersebut. Saya memandang iba ibu tua tersebut. Mungkin inilah kekejaman ibukota itu, membiarkan sosok

Beberapa menit kemudian datanglah sedan BMW berhenti tepat di samping saya. Kaca mobil diturunkan. "Ibu dari mana saja?" tanya sosok laki-laki di balik kemudinya. Si lelaki tersebut kemudian membopong Ibu tersebut masuk ke dalam mobil. "Makasih ya, sudah jaga ibu saya," tuturnya sebelum menutup pintu mobil.

Ternyata kekejaman itu untuk saya. Kekejaman berwujud tipu-daya fisik, jendela simulakra dan bayangan stereotip di pikiran. Saya salah, lebih parahnya menanggalkan sikap siri' sebagai ethical honour seorang Bugis. Merasa besar dari ibu tersebut, merasa seakan pahlawan moral, merasa memiliki kedigdayaan di atas orang lain. Tapi ini bukan kampung saya, ini ibukota bung.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)