Kelas Inspirasi SMA 3



Beberapa hari ini saya teringat segala yang berhubungan dengan masa SMA saya. Saya rasanya merindukan masa-masa cinta monyet dlu, naik panggung teater, dipalaki oleh senior, main basket saat istirahat siang, mencuri buku dari perpustakaan, menonton pensi , berburu kaset band punk, upacara bendera, hingga saat berbolos dulu.

Seperti dayung bersambut, tadi malam saya mendapatkan undangan mendadak untuk membawakan ceramah di kelas inspirasi mantan sekolah saya dlu.

Senang kembali di beri ruang untuk melihat tempat-tempat yang menjadi ruang kenangan. Senang bertemu kembali para guru yang menjadi salah satu tulang punggung penentu hingga menjadi seperti sekarang.

Saya melihat banyak perubahan si sekolahku, dari infrastuktur dan kurikulum, hingga pertambahan uban para mantan guru-guru saya. Saya masih ingat mereka, beberapa diantaranya, orang yang rajin membawaku masuk ruang BP atau kepala sekolah. Beberapa dari mereka juga sudah lupa kepadaku.

Hingga mulailah kelas itu, entah apa yang harus saya katakan. Mulailah saya berdongeng akan kenangan saya hingga bagaimana ketidaksengajaan lulus di fakultas kedokteran gigi. Banyak pertanyaan yang penting hingga paling tidak penting seperti :

"Kakak sudah punya istri?"
"Belum"
"Kalau pacar ?"

Untung saja yang mengucapkannya anak sma berparas Pevita Pearce. Sayang, ia masih terlalu kecil, pastinya kelak tuduhan pedofil akan melekat padaku kalau kuladeni ia lebih jauh. Terlalu amoral rasanya.

Selama sejaman saya bercerita dalam sebuah kelas unggulan sekolahku dulu. Namun perlakuan diskriminasi lagi-lagi terjadi. Kelas inspirasi hanya diperuntukkan untuk dua kelas unggulan, padahal hal ini harus merata.

Saya kembali mengingat bagaimana dulu guru sering memperlakukan kelas saya - yang merupakan kelas paling bontot IPA(Ilmu Pengetahuan Alam)- selayaknya kelas yang dihuni para anak tanpa pengharapan. Karena sebentar lagi anak kelas ini akan masuk IPS(Ilmu Pengetahuan Sosial). Konon IPS dulu sering diperlakukan sebagai bak sampah para begundal dan anak haram jadah sekolah. Padahal merekalah yang dari kelas ini terkadang melakukan hal yang mengagumkan di masa mendatang. Sekolah ini masihlah sama seperti kemarin.

Terlepas dari itu senua kebahagiaan utama itu adalah saat saya berbagi kisah, entah mengispirasi, melihat anak SMA yang bersemangat, melihat tempat berpacaran di sudut sekolah, rute pelarian untuk berbolos, hingga pak satpam yang bisa dinego sebungkus rokok bila terlambat datang upacara, tiang bendera tempatku pernah dimandikan sinar mentari siang.

Saya sepakat sama Mas Chrisye :
Tiada kisah paling indah
Masa-masa di sekolah
Tiada kisah paling indah
Kisah kasih di sekolah

Itulah mengapa perlunya mengenang sebuah kisah dalam catatan sejarah diri. Sebuah masa penting dalam perjalanan hidup.
posted from Bloggeroid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)