Tanpa nama

Dia berusaha melupakan malam itu. Saat kerlip kembang api berhamburan. Para manusia beriuh-pikuk. Elektone dan dangdutan berkhotbah di berbagai penjuru kota. Aroma pembakaran kuliner bersatu dengan asap mercon. Semua terhanyut dalam hitungan detik per detik pergantian tahun. Semua berdiri dalam nostalgi dan resolusi. Jalanan kota dipadati manusia penyuka keriuhan dan kemacetan.

Dengan tergesa dia memasuki lorong di daerah keramaian kota dengan langkah tergesa, tak sempat dia menikmati malam itu, gemerlap letusan kembang api seakan tidak mempengaruhi tatapannya yang lurus searah langkah cepatnya.

Dia menuju rumahnya yang terletak di tengah sebuah labirin lorong kota ini.

"Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan/Engkau telah menjadi racun bagi darahku."

Puisi dari Rendra itu berepetisi. Kata-katanya meracuni pikirannya dan menuntun jalannya di dalam lorong sempit yang berjejer rumah dengan sampah yang menggenangi gotnya. Rumah kayu dan rumah batu saling berhimpit tanpa celah. Kadang pula dia harus sedikit mengalah untuk membagi jalan yang sempit ini pada motor yang berpapasan. Bau amis dan parfum murahan ibu-ibu dan perempuan muda yang lalu-lalang dari atau menuju pusat kota - yang tepat berada di luar lorong ini - bersama dengan senyuman merah terang lipstik mereka - seakan menyatu dalam harmoni.

Beberapa kali ia terpaksa harus menembus luapan asap pembakaran kuliner di sepanjang lorong.

"Maaf ya.. sebentar saya mampir ke sini."

Alasan itu berkali diucapkan pada panggilan menikmati sajian makan ataupun alkohol oplosan para tetangganya yang bertongkrong sepanjang perjalanannya di lorong tersebut.

Betapa leganya ketika telah sampai di depan kamarnya. Tanpa berlama- lama dia telah membuang dirinya di atas keempukan kasur kamarnya dan pemandangan kamar yang berisi rak-rak penuh buku puisi, novel, hingga kitab suci. Di samping kasurnya terpajang sebuah foto dalam bingkainya. Nampak seorang perempuan dengan rambut terurai panjang sebahu dan mata tajam menusuk. Parasnya sawo matang dengan balutan kebaya ungu yang menyelimuti. Senyum tipisnya seumpama racun yang siap mengalir dalam arteri yang melihatnya.

Dia senang sepi kini telah bersedia mengiris - ngirisnya.

"Membayangkan wajahmu adalah siksa."

Bait puisi itu mengetuk - ngetuk pikirannya. Seharusnya cerita malam itu adalah bersama perempuan itu. Menghabiskan malam tahun baru dalam pelukan mesra malam dingin udara penghujung Desember, merangkul dan mengatakan kata-kata klise para pecinta. Apa daya saat dia hendak menjemput perempuan itu di kosannya, sepasang tubuh telanjang penuh peluh memeluk : seorang lelaki tegap kekar dan perempuan yang berambut terurai, seumpama mangsa yang tercenkram singa jantan. Dia mengenali baik Sang Singa itu, seorang kakak, seorang yang harusnya menjadi pengayomnya. Perempuan itu menegurnya dengan singkat :

"Sayang, maaf ya malam ini mas edy ingin ditemani."

Runtuh langitnya dan dengan cerdik ditutupinya, sejak lama perempuan itu dikenalnya dan dicintai, sayangnya tidak ada serangkaian kata baginya yang pantas menyirat atau menyurat. Ranum tubuhnya dicicipi - mungkin seganas-ganasnya- dengan mudahnya oleh Edy. Sadar akan kehadirannya, datanglah perempuan itu mendekatinya dan memeluk seakan memperlihatkan empati atau mungkin juga merayakan sakit hati. Kata-kata menusuk lainnya diucapkan perempuan itu.

" Selamat tahun baru" ucapnya. Edy, adiknya mengucapkan hal yang sama sembari tersenyum. Edy tanpa malu dan menyesal mendatanginya tanpa busana sembari berucap :

"Jangan bilang mama ya."

Setelah itu dilihatnya sang kakak melumatnya dengan lahapnya. Seandainya saja lelaki itu tidak dikenalnya, mungkin saja sudah dihajarnya habis-habisan lelaki kurang ajar itu pikirnya.

Dia kembali menyembunyikan foto berbingkai itu. Seseorang mengetuk pintu kamarnya dan terdengar rancau :

"Lisa.. Lisa... Tetangga sebelah menunggu di bawah, katanya sudah janjian.."

" Ya... Ma..."

Dia mengerti bohong adalah salah satu obat yang paling tepat untuk sakit hati. Dibukanya pintu. dan kemudian mamanya menanyakan kakaknya yang katanya istrinya mencarinya daritadi. Mata mamanya sedikit memerah dan hembusan nafasnya menyeruak alkohol, apalagi dia cukup terbiasa dengan hal itu. Gelengan kepala tanpa ragu dia lakukan. Mamanya meracau dan dengan terhuyung - huyung keluar dari rumah.

Kamar ditutupnya kembali dan sepi hadir kembali dengan segala canda dan tawanya akan kenangan tadi. Dengan tawa dia menikmati tusukan demi tusukan yang dilayangkan sepi dan rindu itu.

"Aku tungku tanpa api"

Itu diucapnya berkali-kali. Waktu menunjukkan pukul 12 malam, pergantian tahun dengan gelegar kembang api mercon dari balik kamarnya. Dia tertawa semakin keras. Mungkin hanya temaram kamar itu yang mengerti, mungkin perasaan itu adalah durjana yang dengan sakitlah dapat dinikmati.

posted from Bloggeroid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)