Mencari Mawar yang Tak Bernama



Judul buku : The Name of The Rose
Penulis : Umberto Eco
Penerjemah : Nin Bakdi Soemanto
Penerbit : Bentang Pustaka

Buku ini bercerita mengenai memoar seorang biarawan muda Adso yang saat itu bersama William biarawan dari Baskerville untuk melakukan penyelidikan atas kasus pembunuhan yang terjadi di dalam biara Benediktan di Utara Italia.

Berjalinlah sebuah cerita sepanjang tujuh hari di dalam biara tersebut, di mana semua tradisi dan habitus berdoa - yang juga sebagai patokan waktu - diselami.

Adso dan William kemudian berhadapan dengan Labirin Perpustakaan yang dikenal sebagai Aedificium juga kematian yang semakin membajiri biara tersebut, hingga penghakiman akan para orang - orang yang dianggap Paus sebagai Pembid'ah.

Hingga kemudian seluruh biara ini hancur lebur di dalam kobaran api bersama segala kisah gelap yang ada di dalamnya.

Pertarungan Makna

Sebenanrnya saya terlalu malu untuk mereview novel ini berhubung resensi yang sangat apik oleh St. Sunardi tapi tak ada salahnya menawarkan sebuah perspektif.

Sebenarnya melihat judul dari novel ini "The Name of The Rose", sekalipun mawar tidak ada sama sekali disebutkan di dalam nov. Saya kemudian mengingat salah satu puisi di halaman belakang novel ini :

Mawar merah yang tumbuh di padang rumput
kau sombongkan diri dengan berani
bermandi warna merah padam dan merah tua :
suatu peragaan yang elok nan wangi
Tetapi, astaga : karena cantik, tak lama lagi kau akan tidak bahagia.

Saya sepertinya sepakat dengan St. Sunardi yang memaparkan bahwa judul ini multi tafsir yang bermakna ambigu. Namun saya percaya Umberto Eco sudah mati saat menuliskan novel ini, dan para pembacanya berhak menafsirkannya.

Sebagai seorang postmodernis dan semiotika seorang Umberto Eco menurut saya mungkin menawarkan sebuah tafsir akan "Mawar", yang kemudian dapat berarti Tuhan atau mungkin suatu ajaran yang suci dan murni. Puisi di atas mungkin saja berarti bagaimana "Rose" kemudian menjadi bahan perdebatan yang berujung pada penjualannya semurah mungkin atas nama konflik dan intrik politik. Sekiranya hal itulah yang digambarkan di dalam novel ini yang intrik bid'ah senantiasa terjadi : Fransiskian dan Dominician, konflik penafsiran suatu ayat, dan konflik pengetahuan dan teologis.

Biara Benedektin yang inklusif menjadi ladang kebencian yang kemudian menset pembunuhan berseri yang menjadi bahan penyelidikannya. Saya kemudian melihat Biara ini sebagai Indonesia yang di mana klaim tafsir tunggal senantiasa dilakukan para agamawan tertentu dan penyesatan atas kelompok lainnya.

Novel ini ditulis oleh profesor abad pertengahan, wajar jika dia menawarkan Zeitgeist (semangat zaman) zaman pertengahan. Anda dapat melihat dari habitus dan khususnya pembagian bab dan sub bab dalam novel ini berdasarkan pembagian waktu berdoa oleh para biarawan. Kita diajak memasuki kehidupan biara dan mengenal banyak pengetahuan dan teks pada zaman itu. Hal itu dapat dilihat dari pembagian waktu berdoa hingga diskusi dan pertemuan tentang kemiskinan Kristus pada Hari Kelima. Inilah yang menurut saya salah satu poin menarik dari novel ini. Novel inj menyajikan petualangan hidup di abad pertengahan. Penambahan peta di novel ini semakin menjelaskan bahwa penulisnya betul - betul menginajinasikan novel ini.

Saya sangat tertarik akan perpustakaan berlabirin dan penuh misteri bernama Aedificium. Perpustakaan ini melambangkan samudra pengetahuan yang dalam, digambarkan dengan konsep pembagian peradaban dunia di masa itu. Mungkin ini menandakan bahwa dunia ini senantiasa berkolerasi namun hanya orang tertentu yang bisa menerjemahkannya (mungkin salah satunya William dan Adso).

Hingga naskah Poetics Aristoteles yang kemudian dicerna dengan lahap oleh Jorge - mastermind dari pembunuhan berseri tersebut - yang lalu mematikannya. Seperti halnya Lyotard yang berkomedi dengan kebenaran, seperti itulah yang mungkin ingin disampaikan oleh Umberto Eco dalam sebuah percakapan William dan Adso di akhir :

"Mungkin misi dari mereka yang mencintai umat manusia adalah untuk membuat orang menertawakan kebenaran, agar kebenaran itu sendiri tertawa, karena satu-satunya kebenaran terletak dalam pengetahuan untuk membebaskan diri kita sendiri dari nafsu gila akan kebenaran."

Salah satu kutipan yang mungkin menarik untuk disimak juga adalah sebagai berikut :

".. untuk kali pertama aku melihat potret Antikristus, yang tidak berasal dari suku Yudas, seperti yang sudah dicanangkan, atau dari negeri yang jauh. Antikristus itu bisa lahir dari kesalehan itu sendiri, dari cinta yang terlalu besar kepada Tuhan atau kebenaran, seperti orang bid'ah lahir dari santo dan orang majenun dari petapa. Takutilah para nabi, Adso, dan mereka yang bersedia mati demi kebenaran, karena biasanya mengajak banyak orang lain ikut mati, bahkan sebelum mereka mati, kadang sebagai ganti mereka."

Sebagai seorang pakar semiotik, mungkin Eco berusaha menyajikan bahaya tafsir tunggal atas ayat dan agama, yang juga melatari berbagai konflik yang terjadi di dalam novel. Eco sepertinya tidak ingin para pembaca mengabaikan para "liyan" (yang lain) dalam "mawar" karena konsekuensinya tentu adalah kehancuran seperti yang terjadi pada biara dan perpustakaan tersebut. Apapun namanya tentu dia adalah "mawar" yang suci dan indah, yang tidak mengajarkan benci dan penghakiman. Mungkin juga inj adalah sebuah dekonstruksi akan "mawar" sehingga mungkin setiap pembaca bisa menyimpulkan tanpa berpihak.

Novel ini bisa dibilang adalah parade pengetahuan yang mencakup Aristoteles hingga Bacon. Unsur suspense yang biasa hadir di novel detektif seperti Sherlock Holmes atau Petualang Hercule Poirot disajikan dengan sedikit berat dan terkadang bertele-tele (mungkin ini hal yang dicari oleh penulis). Hal ini dialami oleh saya yang membaca. Beberapa bab atau bagian harus saya baca berulang kali, mungkin saja ini disebabkan novel terjemahan - novel aslinya berbahasa italia - yang terkadang banyak hal yang sulit ditafsirkan dan frase yang agak ambigu. Lebih dari itu novel ini menarik untuk pembaca yang siap mengerutkan kening dan bersiap untuk berwikipedia dalam lembar bacaannya.

posted from Bloggeroid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)