Memoar Natal



Ketika masih SD dulu, saya memiliki kebahagiaan ketika perayaan natal mencapai puncaknya, maklum saya bersekolah di mana mayoritas katolik dan protestan berada. Di dalamnya ada kesenangan mendapatkan peran di dalam drama natal, kelahiran Yesus - sekalipun hanya alang-alang atau domba - yang dipentaskan sekolah, kesenangan menikmati pemasangan aksesoris berkerlip pohon natal di rumah kawan, hingga menikmati paduan suara dan hadiah-hadiahnya.

Ada kesenangan yang tidak terkira ketika melihat rekan dan guru beserta keluarganya turut berbahagia di dalam momen ini. Senang rasanya membagikan ucapan dan cerita di momennya.

Selain bersekolah bersama mayoritas Kristen, saya juga hidup di lingkungan yang di mana Kristen dan Muslim bahu membahu di dalam kehidupan. Saya ingat betapa banyak bantuan para tetangga kepada saya dan keluarga, ketika keluarga saya mendapatkan kesulitan, dari hal yang remeh temeh hingga permasalahan ekonomi yang melanda keluarga saya. Dan monen natal adalah semangat kebersamaan terbesar di dalam lingkungan saya.

Hal yang berbeda saya dapatkan ketika menasuki bangku SMA, pertama saat saya kemudian pindah tinggal bersama tante dan nenek saya. Dua ketika masuk ke sekolah negeri yang bermayoritas muslim, berinteraksi dengan teman - teman dari remaja mesjid yang penyuka teori konspirasi global dan mengklaim diri penegak syariat. Terlebih saat memasuki bangku SMA, konflik Poso dan Ambon berlatar agama masih kuat di ingatan.

Disamping menggeluti teater dan basket sebagai ekskul, acap kali saya hadiri kegiatan kajian yang diadakan mesjid di sekolah dan dekat tempat tinggal saya. Saya sempat terjebak pada berbagai perkenalan akan sikap nyinyir dan curiga terhadap rekan saya yang beragama Kristen. yang konon katanya untuk menegakkan agama saya.



Saya sering melihat rekan-rekan kelas seringkali melakukan perdebatan yang tidak konstruktif, kecurigaan akan pemasukkan unsur babi di setiap kuliner yang dia sajikan saat kami bertamu di rumahnya, juga curiga akan jikalau ada niatnya dalam menyebarkan agamanya lewat pencucian otak yang biasa tersaji di DVD Harun Yahya. Tak ada bahagia natal lagi.

Saat itulah saya merindukan suasana natal yang biasa saya rasakan saat SD dahulu, tempat di mana kebahagiaan saling bertrukar seperti udara, tanpa kita sadari namun masuk dan menghidupi.

Setelah bertahun-tahun kemudian kebahagiaan itu saya rasakan kembali. Kala itu saya ikut dalam komunitas lintas iman dan keyakinan di kota saya bernama JALIN HARMONI. Kami berdoa bersama, kami saling memberi selamat.

Perayaan natal tahun ini istimewa karena apa yang saya rindukan semasa sekolah dulu dapat kembali saya rasakan. Bukan pementasan drama, bukan riasan pohon natal, bukan pembagian hadiah dari Santa Claus, lebih dari itu saya merasakan Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang juga tersaji dalam kidung untuk Maria Sang Perawan. Semangat kasih sayang, Semangat berbagi kebahagiaan, semangat menceriakan, semangat saling mendukung satu sama lain.
posted from Bloggeroid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)