Masih Belum Percaya



Saya masih membasuh muka beberapa kali ini tidak percaya saat memandang sebuah buku di susunan rak saya. Saya masih belum percaya akan buku merah itu terpajang dan menuliskan nama "Dhihram Tenrisau". Saya masih belum dapat percaya bahwa saya menerbitkan sebuah buku.

Teringat akan pesan singkat senior dari Tarakan, Ade Saktiawan yang mengutip seorang penulis besar tersohor Puthut EA :

" Saya tak bisa bayangkan manusia hidup tanpa karya "

Setidaknya saya sudah bisa menjadi manusia dalam konteks Puthut EA itu.

Masih teringat banyak kenangan di dalam buku ini. Semua berawal dari suatu kontestasi politik yang saya ikuti. Kontestasi yang membutuhkan peran kecil seorang amatiran ini, memberi modal yang cukup untuk biaya produksi - dengan tambahan beberapa pasien cabut gigi - buku ini.

Dengan kontak jarak jauh lewat surat elektronik Makassar-Pekanbaru, Kepingan buku ini disusun.

Tak terlupa bagaimana itu kenangan dari penulisan hingga proses pembuatannya yang berkejaran dengan waktu - saat itu saya menargetkan buku ini sudah ada tepat pada saat yudisium dokter saya namun terkadang takdir bersimpangan dengan keinginan si penyandangnya. Kesalahan teknis membuat buku ini terlambat datang. Tapi ah sudahlah, itu bukan menjadi esensi. Setidaknya saya berhasil membuat kotak berisi etape terjal yang saya lalui, yang penutup kotak itu sendiri dibuat dengan ciamik oleh Kedai Buku Jenny.

Saya sangat berterima kasih besar kepada Keluarga Besar Kedai Buku Jenny, tempat saya belajar dan berdiskusi. Bantuannya pada buku ini tak terkira Zulkhair yang tak henti-hentinya mengagitasi untuk membuat buku serta rela dihubungi di tengah malam, terkhusus untuk anaknya Maha yang dengan ilustrasi polos dan cerdasnya. Kak Endha yang rela didadak mendesain cover.

Selain itu saya senantiasa berterima kasih kepada Irmawati Mawar, yang medianya adalah tempat pertama karya saya berhasil berlabuh. Perpustakaan Kata Kerja dan M Aan Mansyur sebagai tempat referensi tumbuh dan siap dipetik. Ada juga komunitas literasi sebagai tempat belajar dan dikritik. Irwan AR pujangga yang sedang berusaha mengakhiri masa lajangnya, menjadi partner diskusi yang baik. Muhammad Arief Rosyid, seorang senior panutan. Dan yang terpenting adalah sang perempuan ideogram ganda, tempat saya menunjukkan naskah kasar dan kotor, tempat berdiskusi sekalipun terkadang ia marah karena saya melupakan janji atau terlambat.

Teks ini memang tidak sempurna.Tapi kenangan dan gagasan itu lah yang ingin saya bagikan. Senang hati ketika melihat karya sendiri sekalipun tidak seprofit dental unit dan piranti orthodonsi.
posted from Bloggeroid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)