Euforia Akhir Perjalanan ?



Perjalanan ibaratnya menyalakan korek api dalam gelap, Terasa singkat, mewarnai, kadang tangan yang harus pula merasakan panasnya api. Namun ketika korek api itu mati, kita terjebak di dalam kegelapan dan seketika itupun kita merindukan korek api yang menerangi.

Bagi anak yang berkuliah di fakultas kedokteran gigi, perjalanan itu ibaratnya mengarungi jeram akademik yang melelahkan dan menguras energi - perjalanan akademik paling cepat sekitar 5 tahun - dan diujung pencapaiannya mereka akan merasakan kemenangan dan euforia dengan toga dan gelar (drg.) baru di depan namanya.

Perjalanan itu melelahkan banyak dari mereka kemudian terlena dengan kenyamanan sebagai konsekuensi gelar itu. Banyak dari mereka kemudian mengabdikan diri di pelosok dengan gaji dan tunjangan berlapis. Terjebak dalam zona nyaman 3 x 4 -- merujuk pada ruang praktek dokter gigi pada umumnya - dengan fulus yang mengalir di setiap jam kerjanya. Menikah dengan anak pejabat daerah, beranak, lalu menjadi PNS dan (mungkin) kepala puskesmas.

Kemarin saya merasakan euforia itu, berada di garis finish dari lintasan panjang pendidikan dokter gigi yang saya tempuh dalam kurun waktu 9 tahun. Saya bahagia juga orang terdekat saya yang terutama terlukis oleh orang tua saya.

Semua pasti tahu kebahagiaan terbesar orang tua adalah menyaksikan anaknya dapat memakai toga berselempang dan menjadi saksi anaknya terkukuh. Terlebih orang tua yang banyak mengorbankan materi dan (kadang) emosu untuk anak bandelnya yang bertualang hingga di luar mainstream dokter gigi.

Kebahagiaan itu terpancar dari saya dan teman-teman sejawat saya. Mereka bahagia karena kelak dapat memiliki penghasilan sendiri, mereka bahagia kelak menjadi tokoh kebanggaan keluarga, mereka bahagia karena dengan gelar itu restu calon mertua dapat diraih.

Kami telah sampai di garis finish, kehidupan yang baru akan menanti. Pilihan mapan senantiasa tersaji. Tak salah jika itu yang dipilih.

Namun rasanya perjalanan 9 tahun itu masih belum berarti apa-apa. Saya masih merasa belum menyalakan korek api sama sekali. Saya masih merasa belum bisa memberikan sedikit terang dalam gelap umat manusia. Saya masih merasa belum terpuaskan akan dahaga pengetahuan. Saya masih merindukan geliat pemikiran dan pergulatannya. Saya masih merindukan dialektika antar teks yang jarang sekali di dapatkan di institusi. Saya merindukan altar pengetahuan yang bebas dan jauh dari dogma-doktrin.

Apakah ini berarti saya harus menyalakan korek yang lain lagi ? Ataukah mungkin berpasrah dalam gelap dan merasa puas ?


posted from Bloggeroid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)