Bau Mulut Wangi Kesturi
Kata
seorang teman yang diberi gelar ustad, puasa bulan ramadhan itu menahan dua
hal. Yang pertama menahan hawa nafsu. Yang kedua menahan aroma tak sedap mulut
orang lain yang berbau. Kalau yang pertama, mungkin sudah terlalu sering
diumbarkan di setiap mimbar – mimbar penceramah ataupun media dakwah lainnya.
Sedang yang kedua membutuhkan sedikit tantangan, karena hal itu lumrah saat
kondisi puasa.
Ada
dua persepsi dalam memandang bau mulut, Pertama perspektif medis. Dunia medis
mengenal bau mulut sebagai halitosis.
Dalam konteks puasa, kondisi ini terjadi bila seseorang mengalami bibir dan
mulut yang kering. Ini terjadi bilamana seseorang tidak melakukan aktivitas
pencernaan – makan dan minum. Ketika mulut kering, terjadilah penumpukan jumlah
air ludah dan lambung yang tidak bekerja, jadinya peningkatan gas lambung dan
tumpukan sisa saliva – air liur –
itulah yang menyebabkan hadirnya bau mulut. Dalam hal ini dokter sebagai pelaku
medis senantiasa meresepkan membasahi rongga mulut ataupun pemakaian obat kumur
saat berpuasa.
Persepsi
kedua diutarakan oleh penganut sufistik dan rohaniwan. Merekalah yang melihat
bau mulut sebagai pembakaran pelbagai dosa. Terlebih mulut yang terdiri atas
lidah yang tak bertulang, bibir yang selalu berucap, serta gigi yang selalu
menggeretak. Mulut katanya adalah asal hilir segala dosa – dosa dan kemudian
membesar di muara dosa lainnya, Sejarah mencatat bagaimana mulut senantiasa
menjadi asal muasal permasalahan dari kecil hingga terbesar. Dari menciptakan perdamaian
hingga memulai peperangan.
Mereka
yang menganut paham seperti itu senantiasa menikmati hadirnya bau mulut sebagai
berkah atau bisa jadi sebagai pertanda diri mereka yang papa sebagai manusia.
Salah satunya adalah penyair Acep Zamzam Noor, yang menyuarakannya dalam
puisinya berjudul Zikir
Bau busuk mulutku, Anne
Seratus tahun memanggi-manggil
Namamu
Inilah zikirku:
Lelehan aspal kealpanaanku, cairan timah
Kekeliruanku, gemuruh mesin keliaranku
Tumpukan sampah keterpurukanku
Selokan mampat kesia-siaanku
Baris bait diatas
serumpama wujud rasa malu yang sangat dalam dalam melantunkan lafaz – lafaz zikir kepada
sosok Anne – mungkin saja adalah perumpamaan sosok Yang Maha Kuasa – yang beberapa
kali dipanggilnya. Ada rasa
malu akan kesalahan dan kenistaan yang salah satunya terlukiskan dalam Bau busuk
mulut. Namun sepertinya si
pelantun menikmati hal tersebut. Apa yang dilontarkan oleh Acep Zamzam Noor
juga sering didapati di masyarakat. Ada upaya menghindari untuk menghilangkan halitosis disebabkan ketakutan
terganggunya peribadatan. Hingga munculah banyak mitos – mitos yang menganggap
misalnya makruh hingga tidak diterima
puasa ketika berkumur
Sayangnya tidak semua manusia sama seperti Acep Zamzam Noor. Kita memang hidup di masyarakat yang
senang dengan yang indah dan wangi, selainnya itu besar peluangnya dilabeli
tidak bagus, anti estetis, lalu bisa saja amoral. Sekalipun banyak alim dan
ulama mengatakan, “Bau mulut orang
berpuasa sama dengan wangi kasturi
– konon yang paling harum dari parfum apapun- di surga.” Bisa saja
hal itu menyebabkan seseorang
yang menghirupnya mengumpat dan memaki yang bisa memakruhkan atau membatalkan
puasa.
Atau bisa saja menyebabkan ketidak baikan bagi orang terdekat kita. Misalnya
saja seorang suami, kepala keluarga, juga pengangguran yang melamar kerja dan
akhirnya gagal memperoleh pekerjaan. Ternyata saat interview, Si Interviewer merasa
tidak nyaman dengan halitosis Si Suami
akibat puasa. Sahlah kegagalan suami menjalankan kewajiban menafkahi keluarga
selama beberapa waktu. Atau bisa juga Si Cantik yang garis tangannya memberi
peluang bertemu Arjunanya, malahan yang ditemukan Si Rahwana karena Si Arjuna ilfil dengan busuk dari mulut Si Cantik.
Saya menyadari bahwa saya
bukanlah orang yang berhak memutuskan perkara agama, namun saya percaya Tuhan
menyukai yang indah – indah. Alangkah lebih baik ketika kita sadar kondisi dan
lingkungan kita sehingga cara beribadah kita tidak mengganggu orang lain dan
memberi kebermanfaatan baik bagi sendiri atau orang lainnya. Misalnya saja ritual
puasa Ibnu Sina dan orang – orang terdahulu yang kurang di”pop”kan, yaitu
mebasahi mulutnya dan hidung saat berpuasa.
Lebih dari itu perkembangan
sains menciptakan kemudahan bagi manusia. Salah satunya adalah obat kumur. Obat kumur di
suatu sisi perbelanjaan,
setidaknya secara klinis selama bertahun-tahun telah banyak menghalau masalah
bau mulut dan sebagai wewangian yang membuat nyaman sekitar. Selain itu mungkin
menambah daftar poin kebaikan ke garis
finish dan podium hari kemenangan di mana hari beduk bergaung, takbiran meraung,
opor-ketupat yang menggunung,
semoga dengan mulut mewangi kita di bumi dan di surga.
Dimuat di Literasi Tempo 16 Juli 2015
Dimuat di Literasi Tempo 16 Juli 2015
Komentar
Posting Komentar