Seperti Api, Itulah Klise Seringai


Album : Seperti Api
Artis    : Seringai
Tahun : 2018

Seringai adalah pencipta gemuruh amarah yang trendi. Tidak semua band cadas Indonesia yang pandai menciptakan gimmick seperti mereka. 

Mulai dari estetika di musik, desain kaos, zine, hingga pelbagai experemintasi di luar riuh musiknya. Rasanya setiap apa yang mereka keluarkan akan hype. 

Saya masih ingat bagaimana hebohnya kaos band ini yang berjudul "Lencana",  dan konon sempat membuat gerah para seragam cokelat. Desain tengkorak Arian di setiap sleeve album sangat ikonik, dan tiada hilang hingga usia lebih 10 tahun band ini.

Kehebatan disempurnakan dengan konsistensi. Senada dengan tagline mereka, "Generasi Menolak Tua". Nada itu setali dengan pendapat Nuran Wibisono.

Musik agresif bercumbu dengan lick blues ala Motorhead. Sesekali melambat selayak Kyuss atau Black Sabbath. Sekiranya itu menjadi ciri yang melekat dalam formulasi musik Seringai. 

Tampilan cd dan case album

Liriknya lugas dan eksplisit. Formulasi ini tepat untuk penampilan live serta pemanas moshpit yang sudah panas setelah menenggak sebotol dua botol metanol atau buang pusing-pusing sehabis work hours.

Bagi saya daya tarik lainnya adalah penggunaan bahasa Indonesia serta posisi politik yang jelas di bait-bait lagunya. Seorang rekan saya yang tidak suka musik keras, menyukai band ini lantaran liriknya yang menurutnya edukatif.

Di album terbarunya, Arian, dkk memberikan perubahan dari dua album sebelumnya, Taring dan High Octane Rock, pada urusan produksi. Dari seluruh album Seringai yang pernah saya miliki, di Seperti Api-lah yang paling nendang, apalagi saat headset menancap di telinga. Yang paling mencolok adalah raungan distorsi Ricky dalam dan kasar.

Dari segi komposisi, Seringai menampilkan kemarahan yang sangat. Cukup berbeda dari album Taring, yang sesekali memasukkan trek akustik, instrumen, hingga lagu balada tongkrongan. 

Album yang bercover setan merah ini menyiratkan angkara dari aransemen dan lirik dimulai dari intro "Hidejokarusu", kita disajikan nomor drone metal yang gelap hingga nomor keseluruhan trek lainnya yang hampir seluruhnya agresif.

Pembeda lainnya dari Seringai-Seringai yang lalu adalah liriknya. Jikalau di album-album sebelumnya Arian, dkk mengekspresikan diri pada topik yang dekat dengan mereka sebagai rocker urban dan kelas pekerja ibukota, di album ini, Seringai berbicara pelbagai polemik sosial dan politik. Mulai saja dari pandangan mereka soal tragedi 65 di trek "Enam Lima", hoax "Dinsinformasi", teknologi dan manusia "A.I", hingga persoalan gender pada "Omong Kosong". Kasarnya, versi musik dari unggahan status dan ciutan Arman Dhani.

Beberapa perbedaan lainnya adalah di trek "Selamanya". Beberapa sayatan dan harmoni gitarnya mengingatkan saya pada tembang berjenis metalcore dengan presisi dan ketukan yang pernah dilakukan Pantera atau Crowbar.

Varian lainnya pada "Istharkult". Seringai menurunkan temponya dengan doom metal. Cara bersenandung Arian yang tidak galak seperti biasa serta kehadiran vokal Danilla Riyadi, memberi efek sensual sekaligus gelap.

Lagu "Omong Kosong", Seringai seakan menyimpulkan seisi album ini. Dengan pendekatan estetika Yockie Suryoprayogo "Musik Saya adalah Saya" lewat potongan monolognya. Oh ya, di lagu ini Arian mempraktikkan vokal growl, seumpama ajak.

Berbeda dari Nuran Wibisono yang menyanjung album ini. Bagi saya, album ini rasanya tidak istimewa sekali ji. Seringai seperti mengulang klise saja. Bahkan bisa dibilang penurunan dari album sebelum mereka, Taring.

Sebenarnya dengan nama besar serta kemampuan band ini bermain gimmick, seharusnya Seringai bisa melampaui apa yang disajikan di album Seperti Api ini. 

Secara musik hampir sulit membedakan Seringai di sini dari album-album sebelumnya. Entah apa ini usaha untuk mempertahankan ciri khas, idealisme bermusik, atau keterbatasan waktu kuartet ini untuk eksplorasi radikal. Eksperimentasi yang bisa jadi pencapaian dan menjadi panutan untuk para musisi metal selanjutnya.

Di album ketiga biasanya beberapa band besar membuat inovasi melampui zona nyamannya. Beberapa band bahkan perlu berdarah-darah untuk menggapai kesempurnaan di album ketiga dengan terma third album syndrome sebagai sindrom kuldesaknya para musisi untuk menggapai standar yang sudah didapatkan di album kedua.

Sebut saja Metallica dengan Master of Puppets, Slayer dengan Reign in Blood, The Clash dengan London Calling, dan Black Sabbath dengan Master of Reality

Bahkan album Semut Hitam yang disebutkan sebagai masterpiece Godbless adalah anak ketiga. Lagi-lagi menurut saya Seringai diselamatkan lagi dengan nama besar di skena juga kecerdasan mereka mengolah gimmick.

Ya sudahlah, bisa jadi album ini bukan untuk menggapai itu. Bisa jadi rilisan ini cara Arian, Ricky, Khemod, dan Sammy bersenang-senang bin bergembira. Bisa juga ini cara mereka curhat dengan gaya mereka yang memarah.

Setidaknya Seringai mengabarkan dari mimbar moshpit bahwa kita sedang tidak baik-baik saja.

Komentar

  1. "Selamat siang Bos 😃
    Mohon maaf mengganggu bos ,

    apa kabar nih bos kami dari Agen365
    buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
    ayuk... daftar, main dan menangkan
    Silahkan di add contact kami ya bos :)

    Line : agen365
    WA : +85587781483
    Wechat : agen365


    terimakasih bos ditunggu loh bos kedatangannya di web kami kembali bos :)"

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maaf Cak Nas (Obituari drg. Nasman Nuralim Ph.D)

Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)

Ketika Mitos dan Realitas Melebur (Review Buku Parabel Cervantes dan Don Quixote)