Dari Gereja Hingga Eksplorasi Lokalitas (Review Buku Puisi Mario F. Lawi, Mendengarkan Coldplay)
Judul: Mendengarkan Coldplay
Penulis: Mario F. Lawi
Penerbit: PT Grasindo
ISBN: 978-602-375-629-2
Membuat puisi dan lagu adalah sesuatu hal yang berbeda namun serupa. Keduanya memiliki cara apresiasinya masing-masing. Penggabungan kedua hal tersebut, yang paling umumnya adalah musikalisasi puisi. Hal ini lawasnya dilakukan oleh Arie & Reda yang menjadikan puisi dalam bentuk folk pop. untuk skala Makassar sendiri ada namanya Ruang Baca yang kerap kali melagukan puisi-puisi Ibe S. Palogai atau Aan Mansyur.
Lantas bagaimana kalau sebaliknya? Ya, Mario F. Lawi mencoba hal tersebut dalam buku kumpulan puisinya, Mendengarkan Coldplay. Dalam puisi-puisinya, Mario mencoba menafsirkan ulang beberapa lagu-lagu Coldplay dan kemudian menuangkannya dalam bentuk sajak. Sebut saja dari "Yellow", "Speed of Sound", "Every Teardrop is Waterfall", "Fix You", "Clocks", hingga keseluruhan lagu dalam album Ghost Stories (2014) dan Viva La Vida (2008).
Untuk judul album terakhir tadi--yang secara pribadi album Colday favorit saya--rasanya harus diakui pengolahan kata dan penafsirannya, bisa jadi hal tersebut dikarenakan adanya kesamaan dalam hal tema album terebut, yang banyak menyinggung abad pertengahan dan seluk-beluk nasrani dengan kehidupan pribadi penulisnya yang notabene lulusan sekolah teologi di Flores, plus adanya pengaruh katolik yang cukup kuat di lingkungan yang membesarkannya.
Lihat saja bagaimana dia menafsirkan lagu "Viva La Vida":
Senja yang abadi beberapa abad kelak,
Luput disaput kesedihan Tuan Michieli
Ketika Baldwin berkeras menegakkan katedral
Meski kenangan tak selalu didirikan
Di atas darah dan air dari tubuh para martir.
Kutipan sajak tersebut membuat saya harus membolak-balikkan halaman wikipedia dan berbagai refrensi lainnya. Salah satu dugaan kuat, 'Baldwin', 'Michieli', dan 'katedral' berhubungan dengan Dominico Michele, seorang doge dari Venesia yang ditugaskan oleh Paus untuk mengamankan peziarah di Jerussalem, namun batal karena disebabkan diculiknya Raja Israel dan juga pendiri Kesatria Templar, Baldwin II. Untuk lebih menjelaskan apa yang Mario hendak tuju, terletak pada akhir sajak ini, sebuah parabel tentang ketiadagunaan berperang atas nama agama seperti yang telah ditorehkan pada sejarah,
Di akhir doanya, sang pastor mengamini:
Sebagai kisah, Kalvari ditulis dengan pena,
Bukan dengan pedang.
Tak ada guna menegakkan senjata,
Mengenang Israel yang terluka itu.
Dwilogi lagu favorit saya "Lovers in Japan/Reign of Love" dalam tiga baris sajak yang menyerupai haiku:
Kata yang merah
Mengamit langit kota
Ketika rebah.
Ketika pada Bab II, Mario berenang-renang dengan elemen gereja dan simbol Katolik, pada Bab III, dia mencoba memakai metafora yang berhubungan dengan keeksotisan alam dan lokalitas. Mengingatkan akan model puisi Sapardi. Lihat saja pada kutipan puisi "Magic",
Di dalam lembah,
Telah ia habiskan sembilan hari,
Menjerang kopi Manggarai,
Menuntaskan Ecclesia Cathedralis
Atau bisa juga pada kutipan sajak "Always in My Head",
Hitam. Kering. Pinang. Tanah. Merah. Rumah. Belanga. Kayu. Pagar. Batu. Batu. Lurus. Sirih. Keriput. Bayi. Rakit. Laut. Panen. Kuda. Ilalang. Garis. Garis. Garis. Aspal. Hangat. Botol. Perempuan. Gigi. Celah. Timba. Lemari. Asap. Langit. Kau. Kau. Kau.
Saya juga penasaran dengan Ama Peke yang berkali disebutkan di dalam beberapa puisi di bab ini. Beberapa penelusuran Om Google tidak berhasil untuk ini.
Salah satu puisi yang paling saya suka dalam buku ini adalah "Yellow". Puisi ini sangat cocok dipasang di status media sosial, dan menariknya, Mario tidak menghilangkan elemen-elemen penting dari bagian reff dari lagunya,
Tulang dari segala tulang yang menopangmu
Daging dari segala daging yang menyusunmu
Kulit dari segala kulit yang menjahitmu
Telah mahir mencuri rotasi dari sumbu semesta.
Kira-kira itulah puisi yang menurut saya mewakili bukui ni. Secara keseluruhan puisi yang dibuat oleh Mario adalah jenis puisi kamar, tanpa banyak embel-embel permainan struktur. Kumpulan sajak ini memerlukan berkali-berkali pembacaan dan perlu mengetahui seluk beluk lagu yang digubah menjadi puisi tersebut. Dan nyatanya, inilah salah satu kekurangan buku ini: penjelasan singkat akan lagu. Sebagai seorang penafsir akan lagu, puisi-puisi ini harus mampu menjelaskan lagu-lagu tersebut, dan yakinlah tanpa penjelasan--terlebih jika pembaca buku ini tidak pernah mendengar lagu yang dimaksud, pembaca pasti akan membuat dikotomi antara lagu Coldplay dan puisi-puisi di buku Mendengarkan Coldplay ini. Jika saja Mario sedikit 'tidak pelit' penjelasan itu di pendahuluan ataupun catatan kaki di tiap sajak. Salah satu hal lain yang menurut saya kekurangan buku ini adalah tiadanya "Charlie Brown", yang juga menjadi lagu Coldplay kesukaan saya. Selain itu saya juga memimpikan sewaktu nanti ada orang yang dengan segala kerendahan hati menafsirkan lagu-lagu yang saya buat atau terlibat dalam pembuatannya.
Komentar
Posting Komentar