Titik Nadir Kemanusiaan di Hiroshima
Titik Nadir Kemanusiaan di Hiroshima
(Review buku John Hersey, Hiroshima)
Judul Buku : Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan
Penulis : John Hersey
Penerjemah : Gatot Triwira
Penerbit : Komunitas Bambu
ISBN : 979-3731-29-X
ISBN : 979-3731-29-X
Tragedi ledakan atom di Hiroshima memang sudah berlalu lebih
50 tahun juga dengan perang dunia kedua yang menjadi muhasabnya. Ledakan itu
lebih dari sekedar proses dijatuhkannya bom namun lebih dari itu, peristiwa itu
adalah sebuah krisis kemanusiaan. Peristiwa ini menyajikan data: kehilangan
nyawa dan dampak radiasi ribuan orang.
John Hersey, seorang jurnalis, penulis, dan pemenang
penghargaan Pulitzer, mencoba mengungkapkan hal itu. Buku Hiroshima sebenarnya
adalah sebuah jurnalisme sastrawi
yang ditulis dalam edisi The New Yorker, 31 Agustus 1946.
Laporan sangat
mendalam ini mencoba menggali ingatan kesaksian para korban tragedi tersebut
dari saat ledakan terjadi hingga kejadian setelahnya.
Buku ini ditulis dengan gaya kepenulisan novel dari sudut
pandang orang ketiga. Kalau seandainya buku ini adalah sebuah buku fiksi,
mungkin buku ini biasa-biasa saja. Namun harus diakui buku ini adalah reportase
yang diperoleh lewat proses wawancara dan kesaksian yang ketat. Tulisan yang
berjumlah 30 ribu kata ini cukup kuat dalam narasi dan deskripsi.
Tulisan ini membawa banyak reaksi, Bimo Nugroho menulis, ketika
majalah The New Yorker edisi yang saat itu cuma memuat tulisan ini laku
keras. Albert Einstein berniat memborong majalah edisi ini sebanyak 1.000 eksemplar—sayang
tidak dia tidak berhasil mendapatkannya. Ketika dibukukan pun menjadi best
seller. Bahkan salah satu media peningkat mutu bacaam di Amerika Serikat, Saturday
Review of Literature, menuliskan, “Everyone able to read should read it.”
Dan buku ini kemudian dialihbahasakan dan diterbitkan dalam
bahasa Indonesia oleh Komunitas Bambu pada tahun 2008. Cukup lama, namun buku
ini masih menarik untuk dibaca.
Mengambil enam sudut pandang para penyintas yaitu: Nona
Toshiko Sasaki (seorang juru tulis), Dokter Masazaku Fujii(dokter, pemilik
rumah sakit swasta dan seorang hedonis), Nyonya Hatsuyo Nakamura (seorang
penjahit dengan tiga orang anak), Pastur Wilhem Kleinsorge (pendeta Jerman),
dan Dokter Terufumi Sasaki(dokter bedah muda yang idealis), serta Pendeta
Kiyoshi Tanimoto (pendeta Gereja Metodis Hiroshima).
Didahului dengan mengikuti kegiatan keseharian keenam tokoh.
Ketegangan kemudian dimulai saat sebuah kilatan putih terlihat dari pandangan
mereka. Bom Atom meledak dan memuntahkan duka dan kepahitan. Keenam karakter di
buku ini dipertemukan dan saling beririsan dalam sekuen-sekuen empat babakan:
sebelum dan saat kejadian ledakan pada bab “Kilat Tanpa Suara”, saat ledakan
telah meluluhlantahkan pada bab “Api”, proses evakuasi korban pada “Perincian
yang Sedang Diselidiki”, 12 hari setelah bom meledak dan dampak-dampaknya pada “Panic
Grass dan Tanaman Feverfew”.
John Hersey bukanlah orang yang pertama memberitakan tentang
Hiroshima bagaimana kengerian dan kehancuran kota, menara awan, mayat-mayat
tergeletak, juga bayang-bayang manusia yang tercetak pada tembok dan jalan.
Namun
detail-detail dan narasi mengalir yang ditampilkan menjadi penariknya. Saya
harus mengakui keterampilan John Hersey dalam menggali informasi dan
mengumpulkan data dari kejadian tersebut. Lihat saja pada kutipan ini,
Peluh
berjatuhan dari tubuh kedua orang itu. Setelah gerobak berhasil dimasukkan ke
halaman hingga ke tangga depan rumah, keduanya beristirahat sejenak. Bagian
sayap rumah dekat tempat mereka berdiri menghalangi pandangan mereka ke arah
kota... (hal. 9)
Entah bagaimana metodenya mewawancarai hingga detail-detail
seperti itu dapat terkuak. Yang pasti, Hersey hanya ditugaskan selama tiga
minggu (sejak 25 Mei 1946) di sana dan mewawancarai 40 orang akademisi dan dan
enam orang di atas. Teknik menyusun narasi yang runut dan mengalir juga menjadi
kuncinya.
Kondisi digambarkan dengan apik, bagaimana deskripsi
reruntuhan dan manusia tertimbun, manusia-manusia yang berteriak minta tolong,
mayat-mayat bergelimpangan, atau para orang-orang yang terluka dan berpakaian
compang camping membawa kita seakan berada langsung di tengah kejadian
tersebut. Sesaat saya yang membaca merasa empati dan ketakutan yang dirasakan saat
berada di tempat tersebut. Penggambaran ini secara visual dapat ditemukan pada
film-film disaster seperti 2012, atau The Core.
Sisi kemanusiaan pada masing-masing karakter tergali.
Bagaimana paniknya kondisi para karakter saat itu dengan jelas terlihat. Terutama
saat kejadian itu baru saja terjadi. Seperti contohnya pada :
Segera setelah
ledakan terjadi, Pastur Kleinsorge berkeliaran di kebun sayur hanya dengan
berpakaian dalam saja. (hal. 36)
Setelah
terpelanting dari berandanya, Dokter Fuji mengalami shock. Dadanya
terhimpit rapat di antara tiang-tiang pondasi rumahnya. Badannya sakit karena
terjepit dan tidak ada bagian tubuhnya yang bisa digerakkan. Tiang-tiang
pondasi itu menekan kuat badannya. Tak ada jalan keluar, pikirannya putus asa. (hal.
40)
Mereka diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang berat. Di
beberapa bagian, terdapat pergulatan untuk menyelamatkan diri sendiri dan
keluarga atau menyelamatkan para manusia yang telah mengeluarkan suara-suara meminta
tolong.
“Ada orang
yang harus diselamatkan,” teriaknya. Namun situasi sangat kacau. Dalam kondisi
seperti itu, orang cenderung memikirkan dirinya sendiri. Tak ada yang
mengacuhkan seruannya. Akhirnya ia harus membiarkan mereka yang di bawah atap
terkubur dan tak tertolong. (hal.
50)
“Sebagai seorang Kristiani,
hatinya sangat sedih melihat mereka yang terperangkap. Sebagai seorang Jepang,
ia merasa sangat malu karena tidak terluka. Tetapi bayangan anak dan istrinya
yang harus segera ditolong membuatnya terpaksa menelan bulat-bulat rasa
bersalah itu.” (hal. 55)
Di dalam sebuah konflik, tentu identitas menjadi jurang
pemisah. Perang Dunia menjadikan saling nyinyir dan kecurigaan terhadap
identitas dan pemahaman tertentu. Agama Kristen terkena dampaknya. Hal itu
digambarkan pada Pastur Kleinsorge yang saat itu dicurigai sebagai antek “barat”,
juga Pendeta Tanaka yang dianggap oleh Tuan Tanaka sebagai mata-mata Amerika
dan agama Kristen tidak cocok dengan budaya Jepang.
Toh, kesamaan nasib pada bencana ini mampu meredam seluruh
kebencian itu dan membawa perubahan pada para tokoh di buku ini. Kesemua tokoh
di dalamnya menjadi sosok yang humanis di tengah malapetaka kemanusiaan. Mereka
menolong tanpa melihat identitas. Bahkan
di penghujung sakratul maut Tuan Tanaka yang mengalami luka bakar serius,
Pendeta Tamimoto membantu dan membacakan petikan Injil.Pendeta itu membantu
tanpa dendam atas segala tuduhan yang dulu disematkan padanya.
Bom atom itu memberikan persatuan pada mereka, hal itu dapat
terlihat pada,
Satu hal
yang sama-sama mereka rasakan adalah semangat kebangsaan yang anehnya semakin
meningkat. Sesuatu yang juga dirasakan warga London setelah peristiwa blitz.
(hal.157)
Keenam tokoh di dalam buku ini memang selamat, namun
kenyataanya mereka harus menderita yang disebabkan dampak dari bom tersebut. Anak-anak
Nyonya Nakamura mengalami kerontokan rambut, Pendeta Kleinsorge dirawat kembali
di rumah sakit, Nona Sasaki menjadi pincang,
Dokter Sasaki selalu merasa lelah, dan Dokter Fuji kehilangan rumah sakit.
Namun mereka merasa bangga telah berbuat selama musibah itu.
Mungkin hal ini dapat menjadi referensi di Indonesia yang
sedang panas-panasnya dilanda konflik identitas. Lantas yang jadi pertanyaannya apakah Indonesia butuh bencana bom atom atau semacamnya?
Keberhasilan buku ini juga ditunjang dengan kualitas
terjemahan yang baik dari Komunitas Bambu. Penerjemah sukses menafsirkan dengan
lugas dan jelas naskah ini tanpa diiringi banyak catatan kaki. Gatot Triwira,
dkk, berhasil menjadikan buku ini enak dibaca tanpa terjebak pada bias makna
dan ambigu—permasalahan klise pada karya terjemahan.
Mungkin masih banyak hal-hal yang menarik yang dapat dipetik
dari buku ini, selain dari remah-remah pemaparan di atas. Yang jelas Hersey dan
karya Hiroshima menjadi panutan bagi
para karya fiksi dan non-fiksi di masa mendatang. Lebih dari itu, karya ini berkontribusi pada kemanusiaan. Utamanya pada pernyataanya,
Apakah perang
total itu sendiri dapat dibenarkan? Bahkan jika perang itu sendiri memiliki
tujuan yang benar. (hal.162)
Komentar
Posting Komentar